loading...

Saturday 30 April 2016

Shalat

Shalat sangat penting bagi setiap Muslim. Shalat merupakan tiang agama. Dengan shalat, menjadi pembeda antara kita dengan non Muslim.

TERKADANG terlintas dalam benak kita, kenapa kita harus shalat? Apa yang akan kita dapatkan dari shalat? Padahal, shalat hanya gerakan-gerakan sederhana, yang kita lakukan pada waktu-waktu bersantai. Sehingga waktu istirahat kita terganggu akibat diisi dengan shalat?

Jika hal itu masih ada dalam benak pikiran Anda, maka segera hapuslah. Sebab, shalat bukan hanya perintah dari Allah SWT semata. Shalat memiliki keistimewaan tersendiri bagi kita sebagai seorang Muslim. Dan shalat memiliki urgensi tersendiri bagi kita. Apakah itu?

Shalat itu tiang agama. Siapa yang menunaikan shalat, berarti ia menegakkan agama. Dan siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia meruntuhkan agama.

Bila kita memperhatikan sebuah bangunan, tiang berfungsi sebagai penyangga. Apa jadinya bila bangunan berdiri tanpa penyangga? Pasti ambruk, kan? Apa artinya pula bangunan dengan tiang penyangga yang rapuh? Lama-lama ambruk juga, kan?

Dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah ﷺ bersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat,” (HR. At-Tirmidzi).

Shalat juga pembeda keimanan dengan kekufuran. At-Tirmidzi kembali meriwayatkan dari Buraidah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Ikatan janji antara kami (umat Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Maka barangsiapa meninggalkan shalat, berarti ia kafir.”

Adapun Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”

Selain itu, shalat merupakan amalan pokok yang akan dihisab pertama kali. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan yang pertama kali dihisab pada seseorang nanti di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya bagus, maka berbahagia dan beruntunglah dia. Namun, jika shalatnya rusak, maka menyesal dan merugilah ia…”

Sebuah perintah ketaatan dari Allah SWT akan menjadi beban bagi yang kurang berilmu. Semakin bertambah ilmunya, beban itu berubah menjadi kewajiban. Kita mengerjakan shalat, layaknya bekerja kepada majikan. Kita khawatir tidak mendapatkan upah dan mendapatkan sanksi bila tidak mengerjakannya. Kita mengerjakannya karena berharap untuk memasuki surga dan takut masuk ke dalam neraka.

Semakin lama, kewajiban itu berubah menjadi kebutuhan. Kita mengerjakan shalat, karena kita membutuhkannya. Kalau belum mengerjakan, serasa ada yang kurang. Dengan shalat, hati menjadi tenang, jiwa menjadi riang dan segenap permasalahan menemukan jalan keluar. Kita pun merasakan bahwa kitalah yang membutuhkan shalat. Andai tiada shalat, tiada kesempatan berkomunikasi dengan Allah SWT, betapa berat menghadapi aneka problematika hidup.

Lebih nikmat lagi, bila mengerjakannya karena rasa syukur dan cinta kepada Allah SWT. Dan kita merindukan saat istimewa itu. Berkomunikasi dengan Allah, sebagaimana bercengkerama dengan kekasih kita. Rasulullah ﷺ sangat mendalam cintanya kepada Allah. Hingga pernah dalam menunaikan shalat, kakinya menjadi bengkak. Mengapa demikian? Karena beliau berlama-lama dan menemukan kenikmatan luar biasa dalam shalatnya.

Shalat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Selain pembeda antara keimanan dan kekafiran, ia merupakan amalan yang pertama kali dihisab, juga dapat menjadi sarana untuk mengahadapi segala problematika hidup. Hudzaifah berkata, “Kebiasaan nabi ﷺ jika menghadapi kesulitan adalah segera melakukan shalat,” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

10 Seruan Bumi Kepada Manusia

WAHAI manusia, engkau berlari-lari di atas belakangku, tempat kembalimu adalah di dalam perutku.

Engkau melakukan maksiat di atas belakangku, engkau akan disiksa di dalam perutku.

Engkau ketawa diatas belakangku, engkau akan menangis di dalam perutku.

Engkau bergembira di atas belakangku, engkau akan bersedih di dalam perutku.

Engkau mengumpulkan harta di atas belakangku, engkau akan menyesal di dalam perutku

Engkau memakan yang haram di atas belakangku, engkau akan di makan ulat-ulat di dalam perutku.

Engkau sombong di atas belakangku, engkau akan menjadi hina di dalam perutku.

Engkau berjalan dalam keadaan sukacita di atas belakangku, engkau akan jatuh di dalam perutku dalam keadaan dukacita.

Engkau berjalan dalam cahaya yang terang diatas belakangku, engakau akan jatuh ke tempat yang gelap di dalam perutku.

Engkau berjalan di khalayak ramai diatas belakangku, engkau akan menjadi sendirian di dalam perutku. (Anas bin Malik)

Wednesday 27 April 2016

Ini Yang Menyebabkan Hati Tidak Tenang

DARI Nawwas bin Sam’an, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa menganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa sesuatu yang mengganggu jiwa, membuatnya gelisah dan tidak tenang adalah sebuah dosa. Karena itu, hati manusia bisa dijadikan parameter bila ia hendak melakukan seuatu. Ini sesuai dengan hadits hasan berikut ini,
Dari Wabishah bin Ma’bad dia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?’ Saya menjawab, “Ya.” Beliau bersabada, ‘Mintalah pendapat dari hatimu. Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR. Ahmad)

Bila jiwanya merasa tenang hendaklah ia melakukannya, bila sebaliknya maka hendaklah ia meninggalkannya. Hal ini karena jika seseorang berbuat dosa, dirinyalah yang lebih dahulu mengetahuinya daripada orang lain.

Tabiat perbuatan dosa memang menyebabkan hati gundah, depresi, dan gelisah. Contoh kecilnya adalah seorang pencuri. Ia memang telah berhasil mencuri barang curiannya, tapi hati kecilnya akan selalu dirasuki perasaan khawatir dan cemas. Khawatir jika sewaktu-waktu akan ketahuan, dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Maka dari itu, mari kita bersama-sama meninggalkan segala sesuatu yang mampu membuat hati gelisah dan gundah gulana. Karena pada hakikatnya, dosa-dosa kitalah yang selama ini menggunung dan membuat hati tidak tenang. Wallahu ‘alam.[]

Foto: citizendaily.net

Referensi: 40 Pesan Nabi untul Setiap Muslim/Karya: Fahrur Mu’is dan Muhammad Suhadi/Penerbit: Taqiya Publishing

Sunday 24 April 2016

Hak Seorang Ibu Terhadap Anak Laki-Lakinya

MEMBANGUN keluarga sakinah merupakan dambaan kita semua. Dasarnya adalah masing-masing anggota keluarga tersebut harus bertaqwa. Salah satu manifestasi taqwa ialah berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain). Perlu disadari, bahwa pernikahan itu bukan hanya ikatan 2 orang anak manusia, tetapi mengikat 2 keluarga besar.

Jadi pernikahan itu merupakan risalah agung membentuk ukhuwah yang luas yang dasarnya saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan saling menolong (tafakul) antara suami-istri, keluarga suami dan keluarga istri. Bila masing-masing pihak ridha, maka nilai pernikahan yang sakinah serta diridhai orang tua akan terwujud.

Sebelum menikah, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibundanya. Bila seorang anak laki-laki yang telah menikah, maka kewajiban berbakti kepada ibu ini tidak hilang, jadi suami adalah hak ibunda.

Bagaimana dengan anak perempuan yang telah menikah? Nah, bagi anak perempuan yang telah menikah, maka haknya suami. Jadi istri berkewajiban berbakti pada suami. Karena setelah Ijab kabul, berpindahlah hak dan kewajiban seorang ayah kepada suami dari anak wanitanya. Begitu besar kewajiban berbakti pada suami, sampai rasul pernah bersabda, “Bila boleh sesama manusia mengabdi (menyembah), maka aku akan menyuruh seorang istri mengabdi pada suaminya.”

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)

Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah r.a., bertanya: “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah saw: “Ibumu.” Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini.

Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir (kebajikan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:

“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa dipahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.

Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun –selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun–, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)

Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.

Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat.”

Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:

“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”

Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:

“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”

Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.

Ingatlah! Harta Itu Milik ALLAH SWT, Hanya Di Titipkan Saja Kepada Kita

YAKINLAH bahwa harta itu sebenarnya milik Allah sedangkan manusia hanya memegang amanah atau pinjaman dari-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur’an Al Karim:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu,” (QS Al Hadid: 7)

Allahlah pemilik harta benda, karena Dia yang menciptakannya dan yang menciptakan sumber produksinya serta memudahkan sarana untuk mendapatkannya, bahkan Dia-lah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.

“Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..,” (QS An-Najm: 31)

“Ingatlah sesungguhnya hanya milik-Nya makhluq yang ada di langit dan makhluk yang ada di bumi.,” (QS Yunus: 66)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya,” (QS AI Waqi’ah: 63-64)

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…,”(QS. An-Nuur: 33)

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka..,” (QS Ali ‘Imran: 180)

Jadi apa yang diberikan Allah kepada manusia dari karunia-Nya salah satunya adalah harta, sehingga kekuasaan manusia atas harta itu sekedar sebagai wakil, bukan pemilik aslinya.

Jika manusia adalah sebagai amin (yang dipercaya) untuk memegang harta dan sebagai wakil, maka tidak boleh bagi manusia untuk menyandarkan harta itu pada dirinya dan mengatasnamakan keutamaan itu sebagai atas jerih payahnya, sehingga ia mengatakan seperti yang dikatakan oleh orang kafir, “Ini adalah milikku” (Fushshilat: 41). Atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Qarun, “Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanya karena ilmu yang ada padaku” (Al Qashash: 78).

Demikian juga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk menyibukkan dirinya dengan harta itu, tanpa melibatkan keluarga dari pemilik aslinya, karena seluruh makhluq adalah keluarga Allah. Hal ini berarti ia telah melupakan kedudukan dan fungsi harta itu.

Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan di dalam tafsirnya, “Sesungguhnya orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah dan orang-orang kaya itu khuzzanullah (yang menyimpan harta Allah), karena harta yang ada di tangan mereka adalah harta Allah. Seandainya Allah SWT tidak memberikan harta itu di tangan mereka, niscaya mereka tidak memilikinya sedikit pun. Maka bukan sesuatu yang aneh jika ada seorang raja berkata kepada bendaharanya, “Berikan sebagian dari harta yang ada di gudang kepada orang-orang yang membutuhkan dari hamba-hamba sahayaku.”

Wajib bagi manusia (yang mengemban amanat harta) terikat dengan instruksi pemiliknya dan melaksanakan keputusannya serta tunduk terhadap arahan-arahan-Nya dalam memelihara dan mengembangkannya, dalam menginfakkan dan mendistribusikannya. Bukan berkata seperti yang dikatakan oleh penduduk Madyan kepada Nabi Syu’aib AS:

“Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. ,” (QS Huud: 87)

Hal itu merupakan bantahan mereka ketika Syu’aib menasehati mereka,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat), hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan rnanusia terhadap hak-hak mereka janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan,” (QS Huud: 84-85)

Mereka mengira bahwa pemilikan harta itu memperbolehkan bagi mereka untuk bebas berbuat semaunya, walaupun hal itu bertentangan dengan norma-norma (akhlaq) atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan alasan bahwa, “Ini harta kami, maka kami menggunakannya terserah kemauan kami.”

Islam telah menegaskan bahwa harta adalah milik Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya. Allah mengamanahkan kepada mereka harta itu untuk melihat bagaimana mereka berbuat, maka apabila mereka tidak beriltizam dengan perintah-perintah Allah berarti mereka telah melanggar batas-batas perwakilan, sehingga harta itu harus diambil secara paksa atau tangan mereka dipukulkan ke batu.

Dengan kaidah emas ini, maka Islam maju dalam beberapa kurun (abad) dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial Islam telah jauh mendahului apa yang digembar-gemborkan oleh sebagian ilmuwan ilmu sosial Barat bahwa sesungguhnya pemilikan itu tugas sosial, dan sesungguhnya orang yang kaya itu harus mengikuti sistem sosial yang ada. Meskipun kata-kata ini sama sekali tidak sebanding dengan ajaran yang ada dalam Al Qur’an. []

Referensi: Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an dan Sunnah/DR. Yusuf Al-Qardhawi/ 1997/ Citra Islami Press

Saturday 23 April 2016

Dahsyatnya Kengerian di Alam Kubur

HANI’ budak Utsman ibn Affan, meriwayatkan hadis: Ketika Utsman RA berhenti sebuah kuburan, beliau menangis tersedu-sedu sampai basah janggutnya. Lalu beliau ditanya, “Engkau mengingat surga dan neraka tapi tidak menangis. Namun, saat mengingat kubur, engkau menangis. Mengapa?” Jawab beliau, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Kubur adalah rumah akhirat pertama. Bila selamat di kubur, maka yang setelahnya jadi lebih mudah; bila tidak selamat di kubur, maka yang setelahnya lebih sulit.’ Aku juga mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku tidak melihat suatu pemandangan pun yang lebih menakutkan daripada kubur’.”

Karena fase setelah kubur lebih mudah bagi yang telah selamat, maka seorang mukmin dalam kuburnya, ketika melihat surga yang disiapkan Allah, berkata, “Ya Tuhan, segerakanlah terjadinya kiamat agar aku tidak kembali ke keluarga dan hartaku!” Sedangkan seorang kafir lagi jahat, ketika melihat azab pedih yang dipersiapkan Allah baginya, berseru, “Ya Tuhan, jangan kau datangkan kiamat!” karena yang akan datang lebih pedih siksanya dan lebih menakutkan.

Kegelapan Alam Kubur

Seorang wanita yang biasa menyapu mesjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW wafat. Beliau SAW merasa kehilangan. Para sahabat menyampaikan bahwa wanita itu wafat tadi malam dan telah dikubur malam itu juga. Mereka tidak sampai hati mengingatkan beliau. Nabi SAW lalu meminta beberapa sahabat untuk menunjukkan kuburannya. Setelah sampai di kubura wanita itu, beliau menyalati perempuan itu kemudian bersabda, “Kuburan ini sungguh sangat gelap bagi para penghuninya. Allah azza wa jalla menyinarinya bagi mereka dengan salatku tadi,” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, Baihaqi dan Ahmad). [Sumber: Ensiklopedia Kiamat/ Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi]

Dari Pohon, Belajar Jadi Orang Yang Bermanfaat

Setelah tumbuh besar, pohon tidak melupakan jasa pengurusnya. Ia bermanfaat bagi pemiliknya. Bahkan, ia juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti itulah kita harus bisa memposisikan diri. Untuk jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi kedua orang tua.

SEBAGAI makhluk sosial, tentu kita tidak akan bisa lepas dari orang lain. Sebab, tak semua kebutuhan dapat kita selesaikan seorang diri. Ada hal-hal di luar kendali kita. Kita memiliki keterbatasan dan kekurangan. Dan kekurangan itu, dapat dilengkapi oleh orang lain.

Maka dari itu, kita tidak bisa menyombongkan diri, bahwa seolah-olah kita tidak butuh pada orang lain. Padahal, tidak demikian adanya bukan? Sekecil apapun kita tetap butuh orang lain. Begitu pun orang lain, tentu membutuhkan bantuan kita, di saat mereka mengalami kesulitan. Di mana kesulitan itu dapat kita tutupi dengan kelebihan yang kita miliki.

Kita harus bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dan kita bisa belajar mengenai hal ini dari pohon. Mengapa demikian?

Pohon bermula dari satu biji kecil. Ia tumbuh dengan dirawat dan dijaga oleh manusia. Ia tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. Melainkan membutuhkan orang lain, agar ia tetap bisa bertahan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Ketika pohon sudah tumbuh menjadi besar, ia tidak melupakan jasa manusia yang telah merawatnya. Ia memberikan manfaat yang baik bagi manusia. Bukan hanya manusia yang merawatnya, manusia lainnya pun ikut merasakan manfaat darinya. Jadi, ia tumbuh kembang demi memberikan manfaat bagi orang banyak.

Kita pun harus bisa berlaku demikian. Mengapa? Kita berasal dari hal yang tidak berdaya. Kemudian, kedua orang tua kita yang menjaga dan merawat kita hingga tumbuh kembang dengan baik. Lalu kini, kita sudah tumbuh dewasa. Apa yang telah kita berikan untuk kedua orang tua kita? Apakah sudah bermanfaat adanya kita bagi mereka? Apakah orang lain pun merasakan manfaat dari adanya kita?

Di sinilah tugas terbesar kita. Kita harus mampu menjadi orang yang bermanfaat. Jangan biarkan adanya kita tidak memiliki dampak apapun pada orang lain, termasuk kedua orang tua kita.

Jangan biarkan hidup kita dipenuhi dengan kehampaan. Di mana kita tak memiliki arti apapun di mata orang lain, terutama kedua orang tua kita. Berusahalah untuk menjadi orang yang bermanfaat. Tunjukan kelebihan kita untuk membantu orang lain yang tidak memiliki kelebihan yang sama dengan apa yang kita miliki.

Thursday 21 April 2016

4 Malaikat Yang Mendatangi Orang Sakit

SEORANG artis di sebuah perhelatan kontes nyanyi mengatakan bahwa “sakit itu tidak profesional.” Well, berlepas dari bahwa kita dilingkupi berbagai pekerjaan dan kegiatan lainnya, sakit adalah sunatullah, ketentuan dari Allah swt yang ditimpakan pada manusia.

Memang betul, tidak ada yang menginginkan jadi sakit.  Tapi dalam Islam, seperti kita tahu, ada banyak hal yang tersembunyi di balik kondisi itu.

Kalau kita tahu sebenarnya tak ada alasan untuk sedih dan mengeluh saat kita sakit, karena sebenarnya itu adalah kasih sayang Allah swt pada kita. Kita mengeluh saat sakit karena kita tak tahu rahasianya. Sakit, dalam bentuknya yang lain, itu harus disyukuri karena itu adalah bukti kasih sayang Allah pada kita. Allah mengutus 4 malaikat untuk selalu menjaga kita dalam sakit.

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan yang terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat waktu senangnya.”

Ujaran Rasulullah SAW tsb diriwayatkan oleh Abu Imamah al Bahili. Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda :

“Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”

Allah memerintahkan :

1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.

2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya

3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.

4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya, maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat ke 4 , Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”

Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”

“Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau pe­nyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan di­jadikan penebus dosanya oleh Allah,” (HR Bukhari-Muslim).

“Jika sakit seorang hamba hingga tiga hari, maka keluar dari dosa-dosanya sebagaimana keadaannya ketika baru lahir dari kandungan ibunya,” (HR Ath-Thabarani).

“Penyakit panas itu menjaga tiap mu’min dari neraka, dan panas semalam cukup dapat menebus dosa setahun,” (HR Al-Qadha’i).

Tuesday 19 April 2016

Beda Orang Berilmu dan Tak Berilmu

Oleh: Sutrisno Risno, ensrisno@gmail.com

ORANG berilmu dengan orang yang tidak berilmu tentu berbeda. Dalam segala hal orang berilmu tentunya harus lebih baik dari orang yang tidak berilmu. Misalnya, dalam hal berakhlak,orang yang berilmu harus lebih baik,terpuji,dan mulia akhlaknya daripada orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu harus lebih berakhlakul karimah ketimbang orang yang awam.

Orang yang berilmu itu tentu lebih banyak tahu,mana yang baik dan mana yang buruk ,mana yang terpuji dan mana yang tercela,mana yang harus di lakukan dan mana yang harus di tinggalkan. Ini tentu berbeda dengan orang awam yang tidak tahu ilmunya.

Namun bagaimana jika ada orang yang sudah tahu ilmunya,banyak ilmunya, namun akhlaknya kalah baik dengan orang yang tidak berilmu? Orang yang sudah paham mana yang baik dan mana yang buruk, sudah mengerti dan paham bagaimana seharusnya dia bersikap ,sudah tahu apa dan bagaimana yang seharunya dilakukan tapi ilmunya, mengertinya, pahamnya terhadap apa dan bagaimana itu tak pernah d wujudkan di dalam sikap dan perbuatannya.

Sikap dan perbuatan adalah cerminan dari ilmu yang dimiliki seseorang.Jika sikap dan perbuatan tidak sejalan dengan ilmu dan pengetahuannya, itu berarti ilmunya tidak berfaidah bagi dirinya sendiri. Ilmu yang dimiliki hanya mengendap di otaknya, sekadar wacana dan pemuas pikiranya. Dan itu berarti ilmunya tidak mampu memnyelamatkan dirinya sendiri.

Orang yang berilmu tentu dosanya akan lebih besar dari yang tidak berilmu ketika keduanya melakukan pebuatan maksiat yang sama. Pantas kalau Ali bin abi Thalib pernah berkata, “Sesungguhnya yang disebut orang alim (berilmu) adalah orang yang beramal dengan ilmunya dan yang ilmunya sesuai dengan amalnya’’. Wallahu a’lam bish shawab.

Monday 18 April 2016

Hikmah Turunnya Hujan

PERHATIKANLAH hikmah yang luar biasa dalam turunnya hujan ke atas bumi dari ketinggian. Sehingga siramannya mencakup perbukitan, lembah, dataran tinggi maupun rendah. Kalau Tuhan hanya menyiramkannya dari salah satu sisi bumi, tentu air tidak mencapai dataran tinggi kecuali apabila terkumpul dengan melimpah di dataran rendah. Akan tetapi, cara itu merusak.

Sebab itu, ada hikmahnya Dia menyiramkan air hujan dari atas bumi. Allah SWT menciptakan awan yang merupakan penyiram bumi. Lalu mengirimkan angin yang membawa air dari laut. Oleh karena itu, Anda dapati daerah-daerah dekat laut banyak hujan sedang di daerah yang jauh dari laut sedikit turun hujan.

Dalam al-Muwattha’ disebutkan sebuah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah yang sebenarnya adalah salah satu dari empat hadits yang diriwayatkan dari tabi’in (maqthu’) yang terdapat dalam kitab ini,

“Apabila terbentuk awan dari arah laut, lalu berjalan ke arah Syam, awan itu akan menurunkan hujan deras. “(HR Malik)

Allah SWT menciptakan air di awan. Kadang dengan mengubah udara menjadi air. Adakalanya udara membawa air itu dari laut lalu membuahi awan dengan air tersebut dan menurunkannya ke bumi dengan hikmah-hikmah yang telah kami sebutkan.

Kalau saja Allah SWT menggiring air dari laut ke darat dengan mengalir di permukaan bumi, tentu tidak terjadi siraman yang meluas. Selain itu, pasti akan merusak banyak bagian bumi.

Oleh karena itu, Allah SWT menaikkannya ke angkasa dengan kelembutan dan kekuasaan-Nya, lalu diturunkan-Nya lagi ke permukaan bumi dengan penuh hikmah. Seluruh makhluk berakal tidak dapat merekomendasikan suatu usulan yang lebih baik. Allah SWT menurunkan air, dan bersamaan dengan itu, turun pula rahmat-Nya. []

Referensi: Kunci Kebahagiaan/Ibnu Qayyim/Akbar Eka Sarana/2004

Sunday 17 April 2016

7 Macam Persahabatan

SAHABAT adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada sebuah kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka.

Persahabatan selalu diharapkan untuk abadi, langgeng, tak lekang oleh masa. Namun pertanyaannya, apakah persahabatan mampu bertahan dari libasan waktu? Hingga sampai ke akhirat nanti.

Berikut 7 macam persahabatan, namun hanya satu yang akan sampai hingga di akhirat nanti:

1. “Ta’aruffan” adalah persahabatan yang terjalin karena pernah berkenalan secara kebetulan, seperti pernah bertemu di kereta api, halte, rumah sakit, dsb.

2. “Taariiihan” adalah persahabatan yang terjalin karena faktor sejarah, misalnya teman sekampung, satu almamater.

3. “Ahammiyyatan” adalah persahabatan yang terjalin karena faktor kepentingan, seperti bisnis, politik, boleh jadi jg karena ada maunya.

4. “Faarihan” persahabatan yang terjalin karena faktor hobi, seperti teman futsal, badminton, teman arisan, dll.

5. “Amalan” adalah persahabatan yang terjalin karena satu profesi, misalnya sama-sama guru, dsb.

6. “Aduwwan” adalah seolah sahabat tetapi musuh. Di depan seolah-olah baik, tetapi sebenarnya hatinya penuh benci, menunggu kejatuhan sahabatnya,

“Bila engkau memperoleh nikmat, ia benci, bila engkau tertimpa musibah, ia senang” (QS Ali-Imran [3]:120).

Rasulullah mengajarkan doa, “Ya Allah selamatkan hamba dari sahabat yg bila melihat kebaikanku ia sembunyikan, tetapi bila melihat keburukanku ia sebarkan.”

7.“Hubban Iimaanan” ikatan persahabatan yang tulus, saling menyayangi karena Allah, saling menolong, menasehati, menutupi aib sahabatnya, memberi hadiah, bahkan diam-diam dipenghujung malam, ia doakan sahabatnya.

Boleh jadi ia tidak bertemu, tetapi ia cinta sahabatnya karena Allah.

Dari ke 7 macam persahabatan diatas, tipe persahabatan seperti nomor 1 hingga 6 akan sirna di Akhirat nanti. Yang tersisa hanya ikatan persahabatan yang ke 7, yaitu persahabatan yang dilakukan karena Allah (QS Al-Hujuraat [49]:10),

“Teman-teman akrab pada hari Qiyamat menjadi musuh, kecuali persahabatan karena Ketaqwaan (QS Az-Zukhruf [43]:67).

“Yaa Rabb, kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di Dunia, Shalat dengan kami dan berjuang bersama kami,”

Maka Allah berfirman: “Pergilah ke neraka, keluarkan sahabatmu yg dihatinya ada Iman walau sebesar dzarrah.” (HR. Ibnul Mubarak – kitab “Az-Zuhd”).

Ibnul Jauzi berpesan kepada para sahabatnya sambil menangis,

“Jika kalian tidak menemukan aku nanti di surga bersama kalian, maka bertanyalah kepada Allah, “Wahai Rabb, Saudara fulan, sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami tentang ENGKAU. Maka masukkanlah dia bersama kami di Surga-Mu.

Friday 15 April 2016

6 Amalan Ini Memudahkan Rezeki Menghampiri Kita

TENTUNYA setiap dari kita berharap agar Allah memudahkan membuka pintu rezeki bagi kita. Namun sangat disayangkan jika kita hanya berharap tanpa melakukan usaha apapun. Seringkali kita menginginkan kemudahan dalam rezeki, tapi shalat saja masih bolong-bolong. Maka dari itu, perlu adanya amalan-amalan yang akan lebih mendekatkan kita pada Allah dan Allah memudahkan urusan rezeki kita. Berikut ini terdapat 6 amalan yang InsyaAllah memudahkan membuka pintu rezeki Anda.

Istighfar
Allah Ta’ala berfirman,

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
       2. Menjalin silaturahim

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557).

     3. Memperbanyak sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588)

4. Bertakwa pada Allah

Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

5. Melakukan haji dan umrah

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak.” (HR. An-Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1: 387. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

6. Memperbanyak doa minta rezeki

Doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia menyatakan:
Setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Shubuh, setelah salam, beliau membaca do’a berikut,

Allahumma innii as-aluka ‘ilman naafi’a, wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa.

Artinya:

“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan orang lain), rizki yang halal dan amal yang diterima (di sisi-Mu dan mendapatkan ganjaran yang baik).” (HR. Ibnu Majah, no. 925 dan Ahmad 6: 305, 322. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga do’a lainnya dari hadits ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa berikut,

Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak.

Artinya:

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Setelah melakukan amalan-amalan yang bisa mendekatkan kita pada Allah tersebut, sudah seharusnya kita menghindarkan diri dari segala sesuatu yang haram.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).[]

Meraih Pahala Berbakti Kepada Orang Tua Dengan Berwaqaf

Bagaimana cara berbakti kepada orangtua yang telah meninggal?
Berbakti kepada orangtua masih dapat dilakukan meskipun beliau berdua telah meninggal. Berikut ini perbuatan yang harus kita lakukan sebagai anak untuk mendapatkan pahala birrul walidayn yang sangat besar sebagaimana yang telah di sebut diatas.

Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
Selalu memintakan ampunan untuk keduanya setelah selesai sholat.
Membayarkan hutang-hutangnya.
Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Bersedekah (wakaf) dengan meniatkan pahalanya untuk kedua orang tua kita yang telah meninggal.
7 Amalan saat kedua orangtua kita meninggal  yang disebut diatas, no 6 dan 7 yang jarang dilakukan padahal amalan tersebut sangat dianjurkan. Apalagi amalan bersedekah (wakaf) untuk kedua orang tua kita yang pahalanya Insya Allah sampai kepada keduanya.



Keunikan Wakaf dibanding Zakat dan infak yang lain
Da’i mantan rocker Ustadz M Khoir Hari Moekti menjelaskan keunikan wakaf dibanding zakat dan infak yang lain. “Wakaf berbeda dengan zakat, berbeda pula dengan infak sedekah, wakaf itu unik,” Menurut beliau keunikan wakaf dibandingkan dengan zakat dan infak serta sedekah sebagai berikut:

Zakat meskipun hukumnya wajib, hanya dapat dilakukan setahun sekali dan diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. “Sedangkan wakaf, seperti umumnya sedekah, bisa dilakukan sesering mungkin dan dapat diberikan kepada orang yang berada di luar delapan golongan tersebut,”.
Harta wakaf hanya berhak menggunakan dan memanfaatkan harta wakaf tersebut tanpa berhak memilikinya. Berbeda dengan zakat yang boleh dimiliki individu dan di perjual belikan.
Muslim yang berwakaf bukan saja mendapatkan pahala saat memberikan wakaf, tetapi akan terus mendapat kucuran pahala selama benda yang diwakafkannya dimanfaatkan orang lain meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal dunia.
Pahala wakaf bisa dihadiahkan untuk kedua orangtua yang meninggal maupun yang belum.
Keunikan poin yang keempat inilah yang dapat dijadikan sebagai salah satu amalan kita sebagai serorang anak untuk berbakti kepada orangtua. Wakaf hukumnya sunah dan merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang sangat disukai dan dianjurkan dalam Islam. Menurut Imam Asy Syafi’iy, wakaf merupakan kekhususan bagi umat Islam dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyah.

Berwakaf merupakan kebiasaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta shalafush shalih. Harta yang boleh diwakafkan adalah setiap harta mubah yang dapat diambil manfaatnya serta tidak mudah/cepat rusak atau langsung habis jika dimanfaatkan.

Apakah pahala sedekah (wakaf) akan sampai kepada orangtua yang sudah meninggal?
Mungkin masih ada perdebatan tentang hal ini, berikut ini dalil yang menguatkan dan menyakinkan bahwa pahala sedekah (wakaf) itu sampai kepada mayit.  Dalam Al Qur’an surah al Hasyr ayat 10 yang artinya:

“…Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…”

Dari Abu Hurairah rodliyallahu anhu: “Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw: “Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Saw menjawab: Ya” (HR. Muslim)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata : Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada baginda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya ibuku wafat secara mendadak, aku kira dia punya wasiat untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: “Na’am (ya), sedekahlah untuknya” (Mutafaqqun ‘alaih)

Dari Sa’ad bin ‘Ubadah rodliyallahu ‘anhuma, Ia berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, apakah aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: Ya. Aku berkata: Sedekah apa yang paling afdhal? Beliau menjawab: mengalirkan air, jawab Rosulullah” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)

Imam Nawawi rohimahullah berpendapat, bahwasanya bersedekah atas nama mayit ini bisa memberi manfaat kepada mayit dan pahala sedekahnya bisa sampai padanya, dan demikianlah sesuai dengan kesepakatan para ulama, dan juga ulama bersepakat atas sampainya doa, membayar hutang yang telah terwarid di dalam kesemuanya. Dan sah juga menghajikan haji atas mayit apabila hajinya itu haji islam dan begitu juga sah apabila mayit mewasiyatkan agar dihajikan dengan haji sunnah, ini menurut pendapat yang lebih shah menurut kami. Dan ulama berbeda pendapat di dalam masalah puasa, apabila seseorang mati dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka pendapat yang rojih (unggul) itu bolehnya berpuasa atas nama mayit karena adanya hadits-hadits yang shohih, dan yang masyhub di madzhab kami bahwa bacaan alquran tidak sampai pahalanya kepada mayit, dan berkata sekelompok ashab kami bahwa pahala bacaan alquran bisa sampai kepada mayit, dan dengan pendapat sampainya pahala bacaan alquran, imam Ahmad bin Hanbal telah berpendapat. Adapun sholat dan semua bentuk amal keta’atan maka menurut pendapat kami dan pendapat jumhur ulama pahalanya tidak sampai kepada mayyit, dan imam Ahmad berkata, pahala semua bentuk keta’atan bisa sampai kepada mayyit sebagaimana pahala haji.

Penjelasan dalil yang “sepintas” bertentangan.
Lantas bagaimana hubungan hadits diatas dengan ayat yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan menaggung beban orang lain? dan juga hadits Masyhur yang menyatakan amal anak adam terputus setelah ia meninggal dunia?

Bagi ahli fiqih, pasti sering sekali mendengar hujjah ayat dari surat An-Najm ayat 39 ini:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

” …Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.

Mengenai ayat diatas seorang shahabat Nabi, Ahli tafsir pada zaman Nabi yang sangat mulya, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni Ibnu Abbas rodliyallahu ‘anhuma berkata: “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT: “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya” (Tafsir Khazin, IV/213)

Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas rodliyallahu anhu sebagai penasakh atau pengganti surat an-Najm ayat 39 itu adalah sebagai berikut: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-thur :21)

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٟنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٟهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍۢ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌۭ

Ibnu Taimiyah berkata dalam menfasirkan ayat diatas: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain” (Majmu’ Fatawa, 24/366)

Berkata Iman Syaukani dalam kitabnya: (ayat) “Tidak ada seseorang itu…” Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan. (Nailul Authar, IV/ 102)

Kemudian bagaimana penjelasan dengan hadits nabi muhammad SAW yang artinya: “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya” (HR. Abu Daud)

Jawaban :

Dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain yang masih hidup maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada muslim yang sudah meninggal, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal muslim yang sudah meninggal itu itu. (Syarh Thahawiyah : 456)

Kesimpulannya, bahwa berdoa dan bersedekah bagi arwah seorang muslimin baik yang dilakukan oleh anaknya ataupun bukan adalah masyru’ (disyariatkan), dan pahalanya akan sampai bila dilakukan dengan ikhlas. Wallahu ‘alam bisshawab.

Kehormatan dan Kemulian

Oleh: Miftachul W Abdullah,

KEHORMATAN dan kemuliaan itu adalah kedudukan yang amat tinggi, melebihi kejahuan mata memandang pada sudut yang jauh disana. Kehormatan dan kemuliaan itu kasat mata. Tapi, sekali ia terbuka bak sebuah ribuan lebah keluar dari sarangnya. Semua mata melihatnya dan semua telinga mendengarnya.

Kehormatan dan kemuliaan bak permata marjan dari surga. Tak pernah kita dapatkan dari hanya membeli dengan uang segunung, menukarnya dengan segudang emas atau juga mencurinya dari orang lain. Sebab kehormatan dan kemuliaan itu hanya milik Allah, dan dengan seizin-Nya pula Allah memberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Seorang insan. Laki-laki dan perempuan.
 Kehormatan seorang lelaki terletak pada tanggung jawabnya, akhlaknya, dan tutur katanya.
 Kehormatan seorang perempuan pun terletak pada mahkota kesuciannya. Dia bagaikan sekuntum bunga. Jika ia dipetik saat belum pada waktunya, ia akan hilang dan hanyut, keharumannya memudar, hanya karena durinya begitu lemah.
 Kemuliaan seorang lelaki, terletak pada bagaimana dia menyikapi sesuatu, cara pandangnya, dan bagaimana beribadahnya, bersikap kepada kedua orantuanya, dan juga terhadap pasanganya.
 Sedang kemuliaan seorang perempuan lantaran bagaimana dia menjaga kesuciaanya (aurat). Menutupnya atau mebiarkannya begitu saja. Kemuliaan seorang perempuan juga terletak pada akhlaknya, keteduhan hatinya, dan tuturkatanya yang terjaga. Pun tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan isteri.

Kehormatan dan kemuliaan ialah dua hal yang sama tetapi berbeda. Kemuliaan adalah nilai dunia dan akhirat, tetapi kehormatan adalah nilai dunia. Jika ingin memiliki kedua-duanya adalah menjaga diri untuk Allah swt. Terlebih jauh sebelum itu bukankah Allah telah berfirman bahwa telah memuliakan Bani Adam atau anak keturunan manusia?

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al-‘Isra’: 70)

 Allah telah memuliakan manusia, lantas kenapa masih banyak manusia yang menghinakan dirinya di lembah syahwat?
 Allah telah memuliakan manusia, lantas kenapa masih banyak manusia yang menghinakan dirinya di lembah kedustaan?
 Allah telah memuliakan manusia, lantas kenapa masih banyak manusia yang menghinakan dirinya kekufuran?

Kehormatan dan kemuliaan ini mahal. Banyak orang hendak mendapatkannnya lantaran bagi siapapun elok memandang. Meski demikian elok mereka memandangnya, sebab hal itu takkan dapat mereka dapatkan. Lantaran mereka pun tak menyadari pada diri mereka sendiri. Bahwa kehormatan dan kemuliaan itu melekat pada lisan dan perangai mereka. Pun yang menyimpulkan bukanlah dirinya sendiri. Hal itu dinilai bagi siapa yang melihatnya.

Bagi seorang muslim terdapat tiga hal pokok yang sangat erat kaitannya dengan kehormatan dan kemuliaan. Pertama, adalah akidah dan iman. Jika akidah dan iman bagus, lantaran yang kedua yakni syariah juga akan terlaksana. Pun yang ketiga ialah akhlak akan terjaga. Demikian tiga hal pokok itu ialah pondasi, tiang dan atap.
Jika iman dan akidahnya rusak, maka syariah yang menjadi kewajibannya akan tertunda atau bahkan tertinggal. Seringkali hal inilah yang merusak kehormatan dan kemuliaan. Seringkali ini pun menjangkiti penyakit hati setiap muslim. Jika iman dan akidah sudah rusak, syariah tertunda atau tertinggal, lalu bagaimana dengan keadaan akhlaknya? Bagaimana rupa akhlaknya? Dan bagaimana mungkin ia berharap hendak menikmatinya teduh dan nikmatnya kehormatan dan kemuliaan?

Seorang penyair berkata,
Kukenal keburukan,
Namun bukan untuk terjerumus kedalamnya.
Lantaran untuk berjaga-jaga darinya.
Barangsiapa yang tidak mengenal keburukan dari kebaikan,
Maka ia akan terjerus kedalam lembahnya.

Monday 11 April 2016

60 Sifat Lelaki Sejati Menurut Islam

LELAKI itu berbeda dengan perempuan. Seperti halnya perempuan, lelaki diberikan kelebihan oleh Allah SWT. Namun, dalam Islam, kelebihan itu tidak hanya berkutat di soal fisik belaka. Ada mekanisme teknis (akhlak) dalam hal ini. Akhlak inilah yang membedakan seorang lelaki biasa dan seorang lelaki Muslim.

Adapun seorang laki-laki Muslim mempunyai beberapa sifat yang seharusnya melekat pada dirinya. Di antaranya adalah:

1. Islam menjadi pedoman hidupnya yang utama (QS.6:153);
2. Ikhlas menjadi dasar hidupnya (QS.2:207);
3. Taqwa menjadi bekal hidupnya (QS.2:197);
4. Taat menjadi karakteristik khasnya (QS.3.132);
5. Shalat dan sabar merupakan kekuatannya (QS.8:56;32:24);
6. Tsabat (teguh) merupakan sikap hidupnya (QS.8:45);
7. Ukhuwah Islamiyah menjadi pengikat hatinya (QS.49:10;43:67);
8. Tidak mengenal sikap palsu, kamuflase, banyak tingkah dan takabur (QS.25:63);
9. Ruang jiwanya dipenuhi oleh perhatian dan kepedulian yang besar dan penuh kesungguhan dalam mencapai hadaf (tujuan baik) mereka (QS.28:55);
10. Detik-detik malamnya amat berharga, diisi dengan ibadah Qiyamul Lail/Muraaqabatullah (QS.25:64 : 17:79. 76:26);
11. Senantiasa risau dan amat takut akan azab Neraka Jahanam (QS.25:65-66);
12. Punya ukuran-ukuran yang jelas atas kebenaran dalam kehidupannya (QS.25:67.17:29);
13. Tidak menyekutukan Allah, dan tidak menantang (menyalahi) perintah Allah (QS.25:68-71);
14. Tidak menyia-nyiakan hak orang lain dan tidak menzalimi seorangpun (QS.25:72);
15. Hatinya lurus dan hidup subur, dengan iman yang benar (QS.25:73);
16. Senantiasa menginginkan kebaikan yang dilakukan menjamah dan berlanjut untuk setiap generasi (QS.25:74-76);
17. Senantiasa Jjujur dalam perkataan dan perbuatan;
18. Senantiasa menjaga tali silaturrahmi;
19. Senantiasa menjaga amanah yang diberikan;
20. Senantiasa menjaga hak tetangga;
21. Senantiasa memberi kepada yang membutuhkan;
22. Senantiasa membalas kebaikan orang lain;
23. Senantiasa memuliakan tamu;
24. Memiliki sifat malu;
25. Senantiasa menepati janji;
26. Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi);
27. Berakhlak baik/mulia kepada sesama makhluk Allah; (Matiinul khuluqi);
28. Senantiasa Shalat tepat pada waktunya;
29. Senantiasa memautkan hatinya ke masjid /Cinta Shalat berjamaah di Masjid;
30. Senantiasa membaca dan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya;
31. Sederhana dalam urusan dunia dan paling cinta pada urusan akhirat;
32. Paling suka melakukan amar ma’ruf nahi munkar;
33. Paling berhati-hati dengan lidahnya (menjaga lidah);
34. Senantiasa cinta pada keluarganya;
35. Paling lambat marahnya;
36. Senantiasa memperbanyak istighfar, berdzikir dan mengingat Allah swt dan memperbanyak Shalawat Nabi;
37. Senantiasa suka dan ringan berzakat, infaq dan bersedekah;
38. Senantiasa menjaga wudhu;
39. Senantiasa menjaga Shalatnya terutama Shalat wajib;
40. Senantiasa menjaga Shalat sunnat Tahajjud dan Shalat Dhuha;
41. Paling cinta dan hormat padakedua orang tuanya, terutama ibunya;
42. Cerdas / Pikirannya intelek (Mutsaqoful fikri);
43. Aqidahnya bersih/lurus (Saliimul ‘aqiidah);
44. Ibadahnya benar (Shohiihul ‘ibaadah);
45. Rendah hati (Tawadhu’);
46. Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi);
47. Mampu mencari nafkah (Qaadirun’alal kasbi);
48. Senantiasa menjaga dan memelihara lidah/lisan (Hifdzul lisaan);
49. Senantiasa istiqomah dalam kebenaran (Istiqoomatun filhaqqi);
50. Senantiasa menundukkan pandangan terhadap lawan jenisdan memelihara kehormatan (Goddhul bashor wahifdzul hurumat);
51. Senantiasa lemah lembut dan suka memaafkan kesalahan orang lain (Latiifun wahubbul’afwi);
52. Benar, jujur, berani dan tegas(Al-haq, Al-amanah-wasyaja’ah);
53. Selalu yakin dalam tindakan yang sesuai ajaran Islam (Mutayaqqinun fil’amal);
54. Senantiasa pandai memanfaatkan waktu (untuk dunia dan akhirat) (Hariisun’alal waqti);
55. Sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain ( Naafi ’un lighoirihi);
56. Senantiasa menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun’anisy syubuhat);
57. Senantiasa berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’);
58. Senantiasa siap menolong orang yang lemah (Mutanaashirun lighoirihi);
59. Senantiasa berani bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi kita (Asysyidda’u’alal kuffar);
60. Senantiasa mengingat akan datangnya kematian;

Saturday 9 April 2016

3 Nasehat Rasulullah SAW Soal Nencari Rezeki

SAUDARAKU, Rasulullah SAW pernah memberikan tiga nasihat kepada kedua sahabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal: “Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji,” (HR. Tirmidzi).

Saudaraku,

Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut layak untuk kita perhatikan karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa !… ”

Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.

Saudaraku,

Nasihat Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kita harus bertaqwa dimana saja. Sedang perintah taqwa terdapat dalam surat Ali Imron 102: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” ( QS .Ali Imron :102 )

Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa dimana saja, memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu majelis , pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik. Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan kita dimanapun saja, maka perlunya kita menyadari akan pengawasan Allah SWT baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya.

Saudaraku,

Setiap orang selalu melakukan kesalahan. Hari ini mungkin kita sudah melakukan kesalahan baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Oleh sebab itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan kebaikan. Kebaikan tersebut dapat menghapuskan kesalahan yang telah dilakukan.

Untuk dosa yang merugikan diri sendiri, maka salah satu cara untuk menghapusnya adalah dengan bersedekah. Rasulullah SAW bersabda“sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api”. Maka ada orang yang ketika dia sakit maka dia akan memberikan sedekah agar penyakitnya segera sembuh. Hal ini dikarenakan segala penyakit yang kita miliki itu adalah karena kesalahan yang kita pernah lakukan.

Saudaraku,

Sedang dosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah… (QS. Abasa)”.

Setelah minta maaf kemudian bawalah sesuatu hadiah atau makanan kepada orang tersebut, maka kesalahan tersebut insya Allah akan dihapuskan.

Saudaraku,

Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Bila tidak memiliki akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Saudaraku,

Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu Ya Rasulullah ?”Jawab Nabi: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)

Saudaraku,

Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya yang tidak aman dari gangguannya. Maka terkadang kita perlu instropeksi dengan menanyakan kepada tetangga apakah kita mengganggu mereka.

Waktu Yang Lupa Di Rindu

Oleh: Budi Priadi, budipriadi.id@gmail.com

ADA banyak yang kita lupa. Ada banyak yang kita abaikan. Terlalu mengejar yang fana, hingga terlena dan lupa untuk merindukan yang seharusnya. Dua puluh empat jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Ah … sudah berapa banyak yang hamba gunakan untuk mempersiapkan bekal hidup di akhirat nanti? Entahlah. Harta, tahta, dan jutaan kenikmatan dunia tertata dalam ambisi yang menggebu. Sedangkan di sampingku, kematian amatlah dekat. Dan aku … lupa untuk merindukannya. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ya Rabb, hanya pada-Mu hamba akan kembali. Dekaplah jiwa ini ketika temaram mulai datang pada jejak langkah hamba.

Waktu yang lupa kurindu. Waktu yang akan datang tanpa pernah aku tahu. Mungkin esok, lusa, atau beberapa detik lagi. Bisa jadi ia akan menghampiriku. Memisahkan aku pada yang fana. Menghantarkan aku pada yang abadi.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Qs. Al-Hadiid [57] : 20)

Ya Rabb, sungguh tak ada keraguan atas segala firman-Mu. Ampuni aku yang lalai akan itu.

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs. Al-Jumu’ah. [62] : 8)

Duhai jiwaku yang sungguh engkau sangat dekat dengan kematian. Sudah berapa sering lisanmu merapal dosa. Sudah berapa jauh kakimu menjejak nista. Sudah berapa lama hati mencongkak sedang kau hanya seorang hamba. Tidakkah engkau sekarang ingat pada siapa kau akan kembali. Tidakkah sekarang engkau tahu kemana kau akan hidup kekal abadi.

Duhai jiwaku. Khusnul Khatimah adalah waktu yang lupa kau rindu. Waktu yang lupa untuk kau persiapkan. Masihkah enggan untuk merindu waktu itu? Sedangkan kelahiranmu dulu juga adalah nyata.

Monday 4 April 2016

Do'a Untuk Penghuni Barzah

Sebelum manusia terbujur kaku, termasuk mereka yang gagah perkasa dan kaya raya, lalu kain kafan putih menyelimuti dirinya, sebaiknya mereka merenungkan sabda Rasulullah saw berikut ini, "Bila salah seorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak shaleh kepada orang tuanya."

Berdasarkan sabda Rasul itu kita tahu bahwa satu dari tiga perkara yang bisa dinikmati setiap penghuni alam barzah setelah mereka mati adalah doa anak shaleh kepada orang tuanya. Hadits itu mempunyai dua sasaran. Pertama, kepedulian kepada orang lain walaupun sudah berpindah alam. Kedua, memberi tarbiyah (pendidikan) kepada anak kita agar kelak menjadi anak shaleh, ingat kepada orang tuanya yang sudah meninggal.

Sebuah pengalaman spiritual tentang hal itu bisa dipetik dari kitab Irsyadul 'Ibaad, adalah seseorang bermimpi dalam tidurnya melihat ahli kubur keluar dari liang kuburnya. Mereka memungut sesuatu, namun ia tak mengerti apa yang mereka pungut. Ia juga terheran-heran karena salah satu dari ahli kubur itu hanya duduk dan tak ikut memungut.

Lalu ia mendekatinya dan bertanya, "Apa sesungguhnya yang mereka pungut?" Si ahli kubur itu menjawab, "Mereka memungut hadiah yang diberikan orang-orang Muslim [yang masih hidup] berupa bacaan Alquran, sadaqah, dan doa." Orang itu bertanya lagi, "Mengapa Anda tak ikut memungut?" Si ahli kubur menjawab, "Aku sudah merasa cukup karena aku sudah dikirimi anakku setiap hari dengan bacaan Alquran. Saat ini anakku berjualan kue di pasar."

Ketika terjaga, orang yang bermimpi itu bergegas ke pasar. Ia menemui dan menanyakan apa yang dilakukan si pemuda yang disebut ahli kubur dalam mimpinya tersebut. "Aku baca Alquran ketika berziarah kubur, dan aku hadiahkan buat orang tuaku," jawab si pemuda tersebut.

Kisah tersebut mengandung hikmah bahwa doa yang diharapkan si mati tentunya berasal dari orang yang paling dekat, yakni anaknya. Ini menjadi bentuk bakti si anak kepada orang tua ketika kedua orang tua itu sudah meninggal. Tentu saja, si orang tua tidak akan menikmati doa-doa yang dikirim dari dunia kalau saja anak-anak mereka adalah para pendurhaka. Naudzubillah.

Hari ini kita mendoakan orang tua, besok lusa insya Allah kita didoakan anak-anak kita yang shaleh. Amien.

Nasehat Kematian

''Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.'' (QS 21: 35).

Kematian merupakan salah satu rahasia Allah SWT yang telah ditentukan kepada tiap-tiap makhluk yang bernyawa. Bila ajal telah tiba tak seorang pun yang bisa menolak atau minta ditangguhkan barang sesaat pun. Allah SWT berfirman dalam Alquran (QS 15: 5): ''Tidak ada satu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula mengundurkannya.''

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: ''Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang ajalnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS 63: 11).

Kemegahan dunia seringkali menggoda dan melalaikan manusia untuk mengingat mati. Maka, lahirlah manusia berperilaku hewaniyah, menghalalkan segala cara untuk kepuasan nafsu syahwatnya --termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme-- yang cukup merugikan dirinya dan orang lain. Apalagi bila didukung fasilitas yang maju dan modern, manusia semakin jauh dari tujuan diciptakannya.

Allah berfirman: ''Bermegah-megahan (dalam soal banyak anak, harta, pangkat, pengikut, dan kemuliaan) telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu) dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui.'' (QS 108: 1-4).

Banyak manusia yang tidak sadar bahwa waktu-waktu yang telah berlalu adalah langkah pasti menuju ketentuan Allah, yakni: kematian! Karena tidak disadari kedatangannya, seringkali kematian dianggap terlalu cepat, mendadak, dan di luar perkiraan.

Banyak manusia yang ketika dicabut nyawanya sedang dalam kondisi ''mabuk kepayang terhadap kenikmatan dunia'', misalnya sedang berbuat zina, mencuri, mabuk, dan perbuatan dosa lainnya. Ini semua bisa terjadi lantaran manusia sudah tidak ingat lagi kepada kematian.

Padahal, dengan datangnya kematian maka tidak ada artinya lagi isi dunia ini. Sebab, kematian berarti berhentinya segala nikmat yang pernah atau sedang dirasakan manusia dan terpisahnya manusia dengan anak, keluarga, pangkat, harta, dan segala apa yang ada di dunia.

Karena itu, alangkah baiknya bila kematian --baik saudara, anak, tetangga, atau teman, dan bahkan orang lain pun-- bisa dijadikan sebagai penasihat yang jitu hingga manusia tidak akan lupa diri terhadap hak dirinya dan hak kepada penciptanya. Orang bijak mengatakan, ''Sering-seringlah kamu takziah karena akan mengingatkan diri kamu akan kematian.'' Wallahu a'lam bis-shawab.

Sabda Rasulullah SAW Soal Usia Ke - 40

Ali bin Ali Thalib berkata, ''Alangkah cepatnya jam demi jam dalam satu hari, alangkah cepatnya hari demi hari dalam satu bulan, alangkah cepatnya bulan demi bulan dalam setahun, alangkah cepatnya tahun demi tahun dalam umur manusia.''

Dalam hidup manusia terdapat tonggak-tonggak umur yang sangat penting, di antaranya umur empat puluh tahun sebagaimana tertera dalam Alquran (Al-Ahqaf: 15--16). Nabi Muhammad SAW juga mengilustrasikan dalam sebuah hadisnya, ''Bila seseorang sudah mencapai usia empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak mengatasi kejelekannya, setan mencium di antara kedua matanya dan berkata, 'inilah manusia yang tidak beruntung'. ''

Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ''Barang siapa umurnya sudah melebihi empat puluh tahun sedang kebaikannya tidak lebih banyak dari kejelekannya, hendaklah ia mempersiapkan keberangkatannya ke neraka.''

Dari dua hadis tersebut di atas, Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk memeriksa amal perbuatannya setiap kali menyadari umurnya kian bertambah. Dengan demikian, umur merupakan aset sekaligus pertanggungjawaban. Kita bisa beruntung dan celaka dengan umur panjang kita.

Semuanya bergantung pada amal yang kita perbuat. Syahdan, menurut beberapa riwayat, sebelum Rasulullah SAW mengembuskan nafas terakhirnya, beliau mengatakan, ''Ummati, ummati, ummati,'' dengan lirih dan sendu.

Kata ummati yang diungkapkan beliau itu sinonim dari kata komunitas atau masyarakat yang menurut Chairil Anwar dalam salah satu puisinya adalah laksana lautan, terkadang bergelombang dan bergolak yang melambangkan keteguhan dan keperkasaan seakan siap menelan dan menghantam semua yang dihadapi.

Di lain waktu, ia laksana hamparan biru permadani yang menggambarkan ketenangan dan kedamaian. Namun, laut juga bisa diibaratkan sebagai "tong sampah", tempat pembuangan segala macam kotoran, sampah, limbah, dan sebagainya.

Konteks yang diungkap Rasulullah tersebut merupakan refleksi dari pertanyaan siapakah di antara kita yang semangat imannya terus bergelombang seiring dengan pertambahan umurnya? Siapa pula yang tetap tenang dan tenteram meski cobaan datang bertubi-tubi?

Siapakah di antara kita yang justru tidak memanfaatkan sisa umur ini dalam kebaikan dan keimanan? Orang semacam inilah bak tong sampah, tempat pembuangan kotoran sosial maupun kultural. Toh, umur ditentukan oleh mutunya, bukan panjangnya. Rasulullah menyimpulkannya dalam dua kalimat, ''Manusia paling baik ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Manusia paling buruk ialah yang panjang umurnya dan buruk amalnya.''

Iri dan Dengki

Penyakit hati yang dinamakan iri dan dengki hampir sama umurnya dengan sejarah peradaban manusia. Kejadian di awal zaman Nabi Adam, yaitu pertengkaran dan pertumpahan darah antara Habil dan Qabil bermuasal dari penyakit hati ini atau hasutan (provokasi) yang sangat menyesatkan dari setan.

Penyakit iri dan dengki ini sangat merusak diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Karena penyakit hati ini dapat menjangkit siapa pun. Bila dibiarkan bercokol dalam waktu lama, penyakit ini dapat menimbulkan sikap yang destruktif bagi pengembangan kepribadian.

Pernahkah kita berpikir dan bertindak untuk selalu syukur dan senang bila ada orang lain mendapat sukses atau kenikmatan? Bila tidak, kita perlu membiasakannya.

Rasulullah mengatakan bahwa menjadi manusia baik adalah manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Artinya manusia harus bersikap inklusif dan peka terhadap lingkungan, baik sosial maupun alam, dan tidak bersikap eksklusif untuk kepentingan dirinya saja.

Barangkali perlu dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari untuk selalu terampil dalam memberi nilai-nilai positif bagi orang lain, dan dicegah kecenderungan untuk memberi nilai-nilai negatif bagi seseorang yang didasarkan oleh rasa subjektivitas.

Seorang yang telah beriman dan yakin menyatakan tiada ilah selain Allah, sepatutnya menampakkan keimanannya itu dalam setiap tindak tanduk pergaulan. Dia terus berupaya terus menjaga perilakunya itu sebagai suatu kebiasaan baik yang bernuansa Islami.

Contohnya, keimanan terhadap takdir ditunjukkan dalam bersikap gembira dan bersyukur pada Allah, bila mendengar ada orang lain yang mendapat kesuksesan atau rezeki halal. Demikian pula memberikan empati bagi yang mendapat musibah atau kesulitan hidup, dan akan lebih bagus lagi bila langsung memberikan pertolongan yang bersifat finansial agar mereka langsung dapat memanfaatkannya.

Pola kebiasaan inilah yang harus ditumbuhkembangkan terus sebagai bagian dari sikap dan gaya hidup manusia Muslim, baik dalam berbagai profesi, kesempatan maupun urusan kenegaraan. Insya Allah perbuatan sekecil apapun bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah, akan selalu mendapat ganjaran hikmah di dunia maupun di akhirat.

Salat dan Sabar

Ketika mengalami kesulitan memahami sebuah teori dalam ilmu pengatahuan, Ibnu Sina melaksanakan shalat sunah. Ia memohon petunjuk kepada Allah SWT agar diberi kemudahan untuk memahami teori pengetahuan itu. Setelah melaksanakan shalat sunah, Ibnu Sina mengalami kebeningan hati, kejernihan pikiran, dan kemudahan untuk memahami teori ilmu pengetahuan yang sebelumnya terasa sulit.

Pengalaman Ibnu Sina memperoleh kemudahan memahami sebuah teori setelah melaksanakan shalat sunah mengindikasikan bahwa shalat tidak hanya bernilai ibadah semata. Tetapi, shalat juga dapat menjadi terapi bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam hidup. Termasuk kesulitan memahami sebuah teori dalam ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya, yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk." (QS al-Baqarah [2]: 45).

Seseorang yang kesulitan memperoleh rezeki dapat melaksanakan shalat Dhuha terus-menerus agar diberi kemudahan memperoleh rezeki. Sebagaimana yang dikemukakan Rasulullah SAW, "Wahai kalian anak Adam, janganlah engkau bermalas-malasan shalat Dhuha empat rakaat. Sebab, dengan mengerjakan shalat Dhuha, Allah akan mencukupi keperluanmu pada sore harinya." (HR Hakim  dan Thabrani).

Sedangkan, bagi seseorang yang terjebak kebingungan yang berada di antara dua pilihan yang sulit, dapat melakukan shalat Istikharah untuk menentukan pilihan yang benar. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan, "Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan maka lakukanlah shalat dua rakaat yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah." (HR Al-Bukhari).

Selain itu, bagi seseorang yang berkeinginan terhadap sesuatu, tetapi belum juga terwujud dapat melaksanakan shalat Hajat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, "Barangsiapa yang mempunyai kebutuhan kepada Allah atau salah seorang manusia dari anak-cucu Adam maka wudhulah dengan sebaik-baik wudhu, kemudian shalat dua rakaat, dan melaksanakan shalat Hajat." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan, ketika sebuah anak panah mengenai kaki sahabat Ali Ibn Abi Thalib, ia memerintahkan anak panah itu dicabut ketika melaksanakan shalat. Saat Ali Ibn Abi Thalib tenggelam dalam khusyuk melaksanakan shalat, bersamaan itu anak panah yang mengenai kaki Ali Ibn Abi Thalib dicabut. Subhanallah, Ali Ibn Abi Thalib tidak merasakan sakit ketika anak panah itu dicabut dari kakinya.

Sangat penting bagi seseorang yang mengalami problem hati, pikiran, dan fisik untuk mengatasinya dengan terapi shalat khusyuk. Sebab, shalat merupakan komunikasi antara hamba dan Allah SWT sehingga terjalin koneksi yang kuat. Dengan begitu, seluruh permasalahan yang dihadapi seorang hamba akan memperoleh pertolongan dari Allah SWT.

Saat Iman Naik Turun

'Tidaklah kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat, kecuali seperti saat salah seorang di antara kamu mencelupkan jari telunjuknya di samudra lautan, lalu lihatlah yang tersisa di jari telunjuknya itu (itulah dunia).'' (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Keimanan senantiasa naik turun. Saat iman naik, saat itu kita merasakan betapa lezatnya iman itu. Hidup terasa tenang, dada lapang, mata terasa sejuk, pikiran jernih, kata-kata manis, penuh tawakal, ibadah terasa ringan dan nikmat, kadang air mata ikut menetes untuk ikut merasakan kenikmatannya. Namun, iman bisa turun kalau penjagaannya tidak optimal, karena gerusan kemaksiatan setiap hari pasti dijumpai karena kita tidak hidup sendiri. Tarik-menarik antara keimanan dan kemaksiatan terus akan terjadi.

Kita juga akan merasakan bagaimana kondisi jiwa ketika iman dalam kondisi turun (futur). Hidup penuh dengan ketegangan, dada terasa sempit, penuh dengki, mata liar ke sana-kemari, pikiran kotor, kata-kata tidak terkontrol, ibadah terasa berat, penuh kekhawatiran terhadap dunia, takut kehilangan rezeki, dan sifat-sifat buruk lainnya.

Semakin banyak sifat dan perbuatan buruk dilakukan semakin deras luncuran iman itu menuju titik terendah. Sebaliknya semakin tinggi kuantitas dan kualitas ketaatan semakin cepat iman itu menanjak ke puncak.

Sebagaimana dijelaskan para ulama, iman naik karena ketaatan dan iman turun karena kemaksiatan. Pertanyaannya bagaimana membangunkan iman ketika sedang terbujur lemah? Ada tiga hal yang bisa kita lakukan, pertama, pakar motivasi mengatakan tips mendobrak kemalasan dan ketakutan dengan cara melakukan sebaliknya. Jika dia malas shalat segera bangun shalat maka rasa malas itu akan berangsur-angsur hilang.

Kedua, menyadarkan diri kita bahwa kita diciptakan untuk akhirat, bukan dunia. Maka, segala aktivitas dunia jangan sampai mengalahkan tujuan akhirat kita.

Ketiga, menyadarkan diri kita kehidupan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan akhirat. Hadis di atas setidaknya menggambarkan tentang perbedaan keduanya yaitu antara setetes air kehidupan dunia dan luasnya samudera kehidupan akhirat. Sungguh sebuah perumpamaan yang sangat jelas dipandang mata.

Maka, merugilah orang-orang yang hanya mengejar dunia dan melupakan akhirat. Namun, bila kita senantiasa menjadikan akhirat sebagai motivasi berkarya, maka dunia pun sudah pasti dalam 'genggaman' kita. Wallahu a'lam.

4 Modal Guru

Oleh: Imam Nur Suharno

Akhlakul karimah menjadi pilar utama dalam pendidikan. Hal itu pula yang menjadi keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mendidik sahabat-sahabatnya. Dalam Alquran surah al-Qalam [68] ayat 4 serta dalam hadis riwayat Muslim dan Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkepribadian Alquran (Kaana Khuluquhu Alquran).

Kalangan non-Muslim pun mengakui keluhuran akhlak Nabi SAW. George Bernard Shaw, seorang filsuf Inggris berkata, "Aku telah membaca kehidupan Rasul Islam dengan baik, berkali-kali, dan berkali-kali, dan aku tidak menemukan kecuali akhlak-akhlak luhur yang semestinya, dan aku sangat berharap Islam menjadi jalan bagi dunia."

Hal itu menegaskan bahwa Nabi SAW adalah teladan mulia dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk dalam masalah pendidikan. Pertama, akhlak terhadap Rabbnya. Dalam urusan ibadah Nabi SAW selalu melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ia adalah orang yang kuat ibadahnya, kuat zikirnya, tidak membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat, dan tidak pernah berhenti istighfar.

Nabi selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam, berdoa, dan bertasbih dengan khusyuk hingga terdengar dari dadanya suara seperti suara bejana yang mendidih karena menangis. Semua itu menunjukkan bukti keluhuran akhlak Nabi terhadap Rabbnya. Karena itu, yang pertama bagi seorang guru dalam menjalankan amanah sebagai pendidik adalah meningkatkan hubungan baik (akhlak) terhadap Rabbnya. Sebab, Dialah yang membolak-balikkan hati manusia (siswa).

Kedua, akhlak terhadap keluarga. Nabi SAW adalah sebaik-baik manusia, terbaik bagi keluarganya. Ia memanggil istrinya dengan panggilan paling baik (HR Bukhari). Jika di rumah, beliau terbiasa membantu keluarganya (HR Bukhari), terbiasa menjahit baju dan menambal sandalnya sendiri (HR Ahmad dan Ibnu Hibban), dan lebih pengasih kepada keluarganya (HR Muslim).

Karena itu, setelah memperbaiki hubungan baik terhadap Rabbnya, guru hendaknya memperbaiki hubungan baik terhadap keluarganya. Keluarga merupakan laboratorium pertama bagi guru dalam membentuk anak didik terbaik. Sebab, jika guru tidak dapat mendidik anak-anaknya di rumah yang jumlahnya sedikit, apalagi mendidik siswa yang jumlahnya lebih banyak.

Ketiga, akhlak terhadap sesama manusia. Nabi SAW sebagai sosok yang agung di antara semua makhluk, seperti jujur, amanah, tawadhu, pemalu, sabar, kasih sayang, lemah lembut, pemaaf, adil, memenuhi janji, dermawan, pemberani, berwibawa, dan masih banyak sifat mulia lainnya.

Sifat-sifat itu pula yang hendaknya melekat dalam diri seorang guru sebelum ia mendidik anak didik menjadi manusia-manusia yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut. Sebab, guru adalah teladan bagi anak didiknya.

Dengan demikian, guru  garda terdepan dalam pendidikan akan berhasil dalam mendidik jika guru mau meneladani kepribadian Nabi SAW. Wallahu a'lam.

Cinta Dunia dan Takut Mati

Cinta Dunia dan Takut Mati

Oleh Syifa Nur Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad, ketika Rasulullah berkumpul dengan para sahabat, beliau berkata, "Suatu saat kelak berbagai bangsa akan menghampiri kamu sekalian (kaum Muslimin) seperti makanan yang menghampiri mangkoknya."

Para sahabat lalu bertanya, "Apakah saat itu kita (kaum Muslimin) termasuk orang-orang yang sedikit jumlahnya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Pada saat itu kamu sekalian banyak jumlahnya.

Tapi kamu adalah laksana buih air yang mengalir. Allah niscaya akan mengenyahkan rasa takut kepadamu dari hati musuhmu, dan menyusupkan al-wahn ke dalam hatimu." Para sahabat lalu bertanya kembali, "Apakah al-wahn itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati."

Jika kita mencermati fakta dan kondisi umat Islam di manapun, maka apa yang dikatakan oleh Rasulullah di dalam hadis di atas terjadi kini. Meski banyak, umat Islam tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Kondisi taraf berpikir kita berada dalam tingkat yang paling rendah. Kita tidak berdaya menolak ketika musuh-musuh memerangi kita melalui perang pemikiran.

Umat Islam begitu jauh dengan Islam itu sendiri. Akidah Islam yang seharusnya menjadi pedoman, banyak dicampakkan. Justru banyak dari kita mengadopsi pemikiran Barat mentah-mentah dan taklid buta. Tak heran bila kini umat Islam lebih takut kepada Barat dibandingkan kepada Sang Pencipta yaitu Allah SWT.

Dunia seolah-olah adalah segalanya. Semua berpacu demi dunia. Tak jarang untuk mencapai tujuan itu, saudara, keluarga, teman, dan sahabat dikorbankan. Semua cara dilakukan. Dan kebanyakan lupa bahwa kesenangan dunia itu sifatnya sementara. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan para sahabat. Mereka begitu tunduk kepada Alquran dan Sunah. Islam digenggam dengan sangat eratnya.

Marilah kita mulai menyadari bahwa cinta dunia tidaklah akan memberikan kebahagiaan yang hakiki, tapi cinta untuk bertemu Allah akan membuat kita hidup sejahtera dunia dan akhirat. Wallahu a'lam bis shawab.

Red: Achmad Syalaby
Source: Pusat Data Republika

Sunday 3 April 2016

Bersyukurlah

Walau Merasa Ada Kekurangan, Bersyukurlah

BERSYUKUR merupakan salah satu ungkapan yang mudah untuk diucap namun sulit untuk dilakukan. Entah apa yang membuat hal itu terasa berat untuk dilkukan. Namun, hal yang pasti harus kita ketahui, bahwa walau berada dalam keadaan apa pun kita patut untuk bersyukur. Dan balasan bagi kita, orang yang bersyukur, maka insya Allah kita akan dapatkan kemudahan menjalani hidup.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat-Ku kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih,” (Surah Ibrahim, 7).
Kebiasaannya, bila kita dikaruniakan nikmat, rezeki, kegembiraan maupun kelebihan, apa yang kita akan lakukan? Pasti kebanyakan orang lebih memilih untuk bersyukur. Ya, itulah yang seharusnya.

Tapi, bagaimana pula kalau kita di berikan kekurangan, kecacatan, kemiskinan, kedukaan dan ujian. Berapa banyak orangkah yang bersyukur? Mungkin dalam 100% hanya 5% yang bersyukur dan berlapang dada bila ditimpa ujian.
Sadarkah kita, beruntunglah bagi mereka yang selalu bersyukur dan sabar. Banyak kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka yang bersyukur dan sabar dengan ujian yang diturunkan.

Fiman Allah SWT, “Mereka yang sabar dalam musibah, kemiskinan dan ketika peperangan, merekalah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertakwa – memelihara dirinya dari kejahatan,” (Surah Al-Baqarah, 177).

Renungkan ungkapan ini:

“After every storm there is a rainbow.” (Selepas setiap guruh, adanya pelangi).

Walau ujian diturunkan, kuatkan semangat dan azamkan tekad. Yakinlah dengan janji Allah.

Biar kita miskin, biar kita buruk, biar kita cacat, asalkan hidup mendapat berkat.

Pikirkan setiap kekurangan yang diberikan pasti ada kelebihan yang diberikan. Begitu juga sebaliknya. Setiap kelebihan itu pasti ada kekurangan kerana kita memang diciptakan lemah dan tidak sempurna.

Ingat bahwa kekurangan itu hebat. Jangan pernah rasa rendah diri dengan kekurangan diri kerana percayalah, setiap yang Allah kurniakan mempunyai kelebihan dan keberkatan tertentu.

Ingatlah, Allah menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hikmahnya ialah agar manusia itu hidup bersama dan tidak mementingkan diri sendiri (saling lengkap melengkapi). Mereka yang kaya membantu yang miskin, yang sehat membantu yang sakit dan lain-lain.

Ingatlah langit tidak selalu cerah dan kita tidak selalu di atas. Janganlah kita hina kekurangan seseorang itu karena mungkin suatu hari kita memerlukan sesuatu yang tidak kita miliki yang ternyata dimiliki orang yang kita pernah hina dulu.

Kekurangan di dalam hidup kita bukanlah pengakhir dan penghujung dunia. Sebaliknya besyukurlah, karena suatu saat nanti pasti akan datang seseorang melengkapi kekurangan kita dengan kelebihannya. Jangan pernah berputus harap dan teruskan berdoa.

Dan ingatlah, setiap kekurangan yang kita miliki merupakan kelebihan yang tidak ada pada orang lain. Bukan semua orang dapat memiliki kekurangan yang kita ada. Bukankah kekurangan dan ujiaan itu satu bentuk dan tanda sayangnya Allah kepada kita?
Jadikanlah kekurangan yang kita miliki itu sebagai sumber kekuatan, simbol kehebatan dan bukanlah sesuatu yang menghancurkan. Bersyukurlah dengan setiap kurniaan-Nya, baik itu kebaikan maupun keburukan. []

Sumber: www.iluvislam.com

Saturday 2 April 2016

Korupsi Dalam Pandangan Islam

Korupsi dalam Pandangan Islam

SUNGGUH sangat menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama, namun sampai dengan saat ini Indonesia masih menyandang jawara dalam hal korupsi. Korupsi dilarang dalam ajaran agama apa pun termasuk agama Islam.

Meskipun terjadinya praktek korupsi di berbagai sektor tidak serta merta berdampak langsung kepada kehidupan kita, namun jika kita semua tidak peduli dan turut serta pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka lambat laun kita semua akan hancur berantakan. Hal ini diibaratkan sebagai sebuah kapal besar yang bernama Indonesia, berlayar menyeberangi samudera nan luas dan mengangkut sarat penumpang dengan berbagai kepentingan. Agar tujuan dapat dicapai dengan selamat maka kapten kapal harus menegakkan aturan main seperti yang telah mereka sepakati.

Peristiwa demikian telah di jelaskan dalam salah satu hadist sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya’ berkata, aku mendengar ‘Amir berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata;
“Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.”(HR. Bukhari).

Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Jinayah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.







Menggelapkan uang Negara dalam Syari’at Islam disebut Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya seutas benang dan jarum.

Adapun dasar hukum dari Al-ghulul, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.(QS. Ali-Imran ayat 161)

Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara) dan zakat dari kaum muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah maka yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:

a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,”Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul,sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak”. beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.

b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak

Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri.

c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak

Bersumber dari Mu’adz bin Jabal yang berkata, “Rasulullah Saw telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. At-Tirmidzi).

d. Pada hari kiamat orang akan memikul terhadap barang yang diambil secara tidak sah

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul, menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. “ Ia berkata, “Wahai Rasulullah tolonglah aku. “Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kambing yang mengembik-embik. “Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘ Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kain dan baju-baju yang berkibar-kibar.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barang-barang yang berharga.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu.’” (HR. Bukhari)

e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah

Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulul tidak terbatas pada lingkup korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam peringatan Rasulullah Saw kepada Mu’adz yang diangkat menjadi Gubernur Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di bawah kekuasaannya tanpa izin Rasulullah. Jika hal ini tetap dilakukan maka ia melakukan tindakan korupsi.

Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata;
‘Ini adalah hartamu dan ini hadiah.’
Spontan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berujar: “kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur.”
Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: “Amma ba’d. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; ‘ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ‘ kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”
Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?” (HR. Bukhari) Wallahu Alam [rf/Islampos]

*referensi: Korupsi Menurut Hukum Islam/bppk kemenkeu