loading...

Friday 21 October 2016

ETIKA ISTERI BICARA DENGAN SUAMI

Pasang surut hubungan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga merupakan sesuatu yang wajar. Pertengkaran antara dua pasangan menjadi bumbu penyedap rumah tangga.

Hanya, ada kalanya kaum ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga melampiaskan kekesalan kepada suaminya. Tanpa sadar, sang istri pun membentak suami dengan suara yang tinggi. Bagaimana sebenarnya etika istri untuk berbicara kepada suaminya?

Mengumpat suami atau sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas'ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.

Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang neraka yang kebanyakan dipenuhi para perempuan. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan penyebab populasi perempuan yang banyak di neraka. "Karena mereka tidak mau mengakui kebaikan suaminya dan tidak bersyukur kepada suaminya, tidak berterima kasih dengan apa yang telah suami berikan, dan karena kesalahan sepele suami lalu istri berkata, 'Tidak pernah aku dapat kebaikan apa pun darimu'."

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, "pembangkangan" merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.

Bila tampak tanda-tanda pembangkangan dari seorang istri, seperti berakhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih pisah ranjang.

Meski demikian, suami tidak boleh mendiamkan istrinya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari." Hanya, bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia tidak boleh memukul wajah karena larangan Rasulullah SAW terhadap pemukulan anggota tubuh yang vital sehingga berdampak bahaya yang luar biasa.

Karena itu, istri harus menghormati posisi suami dalam hidup berumah tangga. Sejumlah keutamaan yang dimiliki suami dan istri mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah ridha Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami menjadi sebuah keutamaan yang disabdakan Rasulullah SAW. Seandainya, kata Rasulullah SAW di sabdanya yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk bersujud di hadapannya, maka niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut bersimpuh.

Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada gesekan antarkeduanya harus diselesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan kata kasar. Meski demikian, menurut Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai pendamping. Misal, bila suami suka bermaksiat misalnya. "Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS al-Baqarah [2]: 194). Tetapi, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.

Kekerasan fisik ataupun nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan bukan cara yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga. Sikap saling terbuka, hormat-menghormati, dan tetap menjaga etika dibutuhkan kala menghadapi persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.

Maka, sudah selayaknya seorang istri mengingat kembali sebuah hadis Rasulullah SAW tentang kriteria perempuan salehah. "Ingatlah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu simpanan yang paling baik bagi seseorang? Yaitu wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka dia membuatnya senang, jika suami menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suami tidak ada di sisinya maka dia menjaganya "(HR Abu Dawud).

Sebaliknya, suami pun berkewajiban bersabar saat menjalin hubungan dalam rumah tangga. Allah SWT berpesan kepada para suami lewat surah an-Nisaa' ayat 19, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."  

Thursday 20 October 2016

8 SUNAH HARIAN NABI MUHAMMAD SAW

Setiap manusia seharusnya mengetahui bahwa Allah SWT telah menyeru agar beribadah dan beramal saleh sebaik dan sebanyak mungkin. Agar kita menjadi pribadi yang bertakwa, setidaknya sunah harian Nabi SAW yang bisa kita contoh dan amalkan dalam keseharian antara lain, pertama, zikir pagi dan sore.

Allah SWT berfirman, ''Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.'' (QS al-Araf: 205).

Kedua, merutinkan shalat Dhuha. Nabi SAW bersabda, ''Pada pagi hari setiap persendian kalian diwajibkan sedekah, setiap ucapan tasbih itu bernilai satu sedekah, setiap kalimat tahmid itu bernilai satu sedekah, satu ucapan tahlil bernilai satu sedekah, satu ucapan takbir bernilai satu sedekah. memerintah yang makruf satu sedekah, mencegah yang mungkar satu sedekah. Dan semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Ketiga, shalat berjamaah tepat waktu. Saking pentingnya shalat berjamaah tepat waktu ini, sampai-sampai Nabi SAW bersabda, ''Kalau saja manusia tahu pahala panggilan shalat dan shaf awal, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus dengan mengundi, pasti mereka akan mengundi.'' (HR Muslim).

Keempat, menjaga shalat rawatib. Dalam sebuah hadis disebutkan, ''Tidaklah seorang hamba melakukan shalat sunah dengan ikhlas lillahitaala setiap hari sebanyak 12 rakaat melainkan pasti Allah akan membangunkan rumah di surga.'' (HR Muslim).

Kelima, membaca Alquran. Membaca Alquran adalah zikir terbaik yang akan mendatangkan banyak kebaikan bagi yang membacanya. Nabi SAW bersabda, ''Bacalah Alquran karena sesungguhnya Alquran akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya (orang yang rajin membacanya).'' (HR Muslim).

Keenam, selalu berusaha dalam kondisi yang suci. Tentang senantiasa suci ini, Nabi SAW pernah bersabda, ''Siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kesalahan-kesalahannya akan keluar dari jasadnya, bahkan sampai keluar dari ujung-ujung kukunya.'' (HR Muslim).

Ketujuh, sedekah harian. ''Pernah suatu ketika, seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, Wahai Nabi, sedekah apa yang paling utama? Nabi SAW menjawab, Bersedekahlah saat kau dalam kondisi sehat, kikir, takut miskin, dan sedang berharap menjadi kaya, tidak menunda sampai nyawa di tenggorokan baru kau berkata, Aku sedekahkan ini untuk si fulan segini, padahal itu sudah menjadi bagian si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari).

Kedelapan, istighfar minimal 100 kali. Tentang meminta ampun ini, Nabi SAW bersabda, ''Demi Allah, aku selalu beristighfar dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.'' (HR Muslim).

Nabi yang sudah maksum saja masih memohon ampun kepada Allah, lalu bagaimana dengan kita yang selalu berkubang dalam maksiat? Semoga kita bisa mengamalkan sunah-sunah harian Nabi SAW tersebut.

KEUTAMAAN MENGAJAR

Hasil gambar untuk gambar guru islami

Mengajar adalah bagian penting dari proses pendidikan. Saking pentingnya mengajar (menyebarkan ilmu), Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat kelak Allah SWT akan mengekangnya dengan kekang api neraka.” (HR Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).

Sebaliknya, beruntunglah bagi para guru yang gemar mengajarkan ilmu kepada para muridnya. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala dari orang-orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang mengerjakannya itu.” (HR Ibnu Majah).

Siapa sosok pengajar yang patut diteladani? Muhammad Rasulullah SAW. Beliau menyatakan sendiri dalam sabdanya: “Sungguh aku telah diutus (oleh Allah SWT) sebagai seorang pengajar.” (HR Ibnu Majah).

Ada beberapa inspirasi yang bisa guru pelajari dari potret pengajaran Rasulullah SAW. Pertama, Rasulullah SAW adalah pribadi pengajar yang punya sifat kasih sayang, menjauhi kesulitan, menyukai kemudahan, senantiasa berbuat baik dan mencurahkan kebaikan kepada orang lain (QS at-Taubah: 128).

Kedua, pengajar hendaknya memiliki kemampuan berbicara yang jelas dan tak tergesa-gesa. Imam Tirmidzi dalam Kitab Asy-Syamail meriwayatkan, dari Aisyah RA bahwasanya ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah berkata dengan tergesa-gesa sebagaimana yang biasa kalian lakukan. Akan tetapi, beliau berkata dengan ucapan yang sangat jelas dan terperinci, sehingga orang lain yang duduk bersamanya akan dapat menghafal setiap perkataan beliau.” (HR Imam Tirmidzi).

Ketiga, setiap murid bisa belajar memahami suatu ilmu tetapi tidak di waktu yang sama. Oleh karena itu, guru harus sabar untuk mau mengulangi penjelasan yang sama kepada beberapa murid yang terlambat memahami.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas RA bahwasanya dia berkata: “Rasulullah sering mengulang-ulang perkataan beliau sebanyak tiga kali; hal itu dimaksudkan agar setiap perkataan yang beliau paparkan dapat dipahami.” (HR Imam Tirmidzi).

Keempat, ajarkan ilmu sesuai dengan kondisi pengetahuan para murid dan apa yang mereka sukai. Rasulullah SAW bersabda: “Katakanlah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, serta tinggalkanlah apa yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka sukai. Apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Bukhari).

Kelima, gunakan metode mengajar yang bervariasi sesuai tingkatan kecerdasan murid. Karena hakikatnya setiap murid bisa belajar tetapi tidak dengan cara yang sama.

Aisyah RA menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Kami khususnya, para nabi, diperintahkan untuk menempatkan orang sesuai dengan tingkatan mereka. Dan supaya kami menyampaikan kepada mereka menurut tingkatan pengertian (kecerdasannya).” (HR Abu Dawud).

Mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia. Bahkan, Imam al-Ghazali mengumpamakan guru pengajar ibarat matahari sebagai sumber kehidupan dan penerangan di langit dan di bumi. Dengan ilmunya, seorang guru pengajar dapat memberikan penerangan kepada umat sehingga mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajari manusia.” (HR Tirmidzi). Masya Allah. Wallahu a'lam bishawab.

JABATAN

Jabatan kerap kali menggoda manusia untuk mendapatkannya dengan cara apa pun, bahkan dengan menghalalkan segala cara.

Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan (dalam pemerintahan). Jika engkau diberi jabatan tanpa meminta, engkau akan dibantu Allah untuk melaksanakannya. Tetapi, jika jabatan itu engkau dapatkan karena engkau memintanya, maka engkau sendiri yang akan memikul beban pelaksanaannya (tanpa dibantu Allah).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW mengingatkan siapa pun untuk tidak meminta jabatan jika tidak memiliki keahlian atau kompetensi di bidangnya. Apalagi, orang yang rupanya meminta jabatan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, seperti untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan umum.

Seperti dikatakan pada hadis tadi, orang yang meminta jabatan tanpa keahlian dan kompetensi tidak akan dibantu oleh Allah SWT dalam menjalani tanggung jawab jabatannya. Dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang meminta jabatan karena keahlian dan kompetensinya, lalu melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan mendapatkan surga di akhirat.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.” (HR Abu Dawud).

Adapun orang yang diberi jabatan tanpa meminta, akan dibantu oleh Allah SWT. Ia diberi atau mendapatkan jabatan semata karena kepercayaan akan keahlian dan kompetensinya, bukan karena kedekatan (nepotisme). Ia dipilih karena prestasi dan rekam jejaknya yang baik. Dengan kata lain, ia adalah orang berkualitas yang diakui dan diketahui banyak orang.

Orang-orang semacam ini akan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan menciptakan kerusakan dan kekacauan yang berujung pada masalah hukum. Nabi Yusuf adalah contoh terbaik untuk hal ini. Raja Mesir kala itu mengangkatnya sebagai pejabat tinggi di kerajaannya, karena ia percaya akan keahlian dan kompetensi Yusuf.

Setelah mendapat kepercayaan itu, Yusuf pun meminta jabatan bendahara kerajaan, karena ia bisa menjaga kas kerajaan dan memiliki pengetahuan tentang manajemen keuangan. Allah SWT pun membantu Yusuf dalam menjalani jabatannya, dan terbukti beliau sukses membawa kerajaan Mesir dan masyarakatnya melewati krisis ekonomi karena musim kemarau yang begitu panjang kala itu.

Allah SWT menyebutkan kisah Yusuf itu dalam Alquran, “Dan raja berkata, ‘Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.’ Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.’ Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’ Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf [12]: 54-56).

Jabatan adalah sesuatu yang berat, karena itu perlu dipikul oleh orang-orang yang ahli dan kompeten di bidangnya, bukan oleh orang yang sekadar mengejar jabatan dengan cara memintanya hanya demi memperkaya diri sendiri ketika jabatan itu sudah didapatkan nantinya. Jabatan mesti diberikan kepada orang-orang yang tepat. Wallahu a’lam.