loading...

Wednesday 30 March 2016

Buruknya Orang Beramal Karena Dunia

Buruknya Orang Yang Beramal Karena Dunia
Rikza Maulan, Lc. MAg.

Celakalah budak dinar, budak dirham, budak qathifah (pakaian sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), (yaitu) yang jika ia diberi maka ia akan ridha, dan jika ia tidak diberi maka dia tidak akan ridha.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra berkata; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celakalah budak dinar, budak dirham, budak qathifah (pakaian sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), (yaitu) yang jika ia diberi maka ia akan ridha, dan jika ia tidak diberi maka dia tidak akan ridha.” (HR. Bukhari)

Hikmah Hadits:

Bahwa gemerlap dan kemilaunya kehidupan dunia, seringkali membuat manusia alpa, khilaf dan lupa. Pesona dunia yang memperdaya tersebut dapat menyilaukan mata siapa pun, mulai dari orang awam hingga para pemuka dan orang yang mengerti agama.
Tercelanya orang-orang yang memiliki orientasi duniawi seperti itu, yang bekerja dan beramal hanya demi dinar, dirham, pakaian, dan perhiasan semata. Jika dalam amalnya ia mendapatkan dunia, maka ia ridha dan taat. Namun jika tidak mendapatkannya maka ia berpaling dan tidak ridha.
Pentingnya orientasi akhirat dalam segala amaliyah kita. Karena kelak setiap amalan akan dibalas dengan pahala sesuai dengan niatannya. Jika niatannya adalah dunia, maka ia akan mendapatkan dunia sebagaimana yang diniatkannya. Namun jika niatannya adalah surga dan ridha Allah, maka insya Allah ia juga akan mendapatkannya. Dan mudah-mudahan kita semua dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas dalam beribadah dan beramal, hanya mengharap ridha-Nya. (sb/dakwatuna)

Pengkhiatan Terbesar Adalah Pengkhiatan Seorang Pemimpin

Penghianatan Terbesar adalah Penghianatan Seorang Pemimpin
Redaksi – Selasa, 4 Zulqa'dah 1436 H / 18 Agustus 2015 08:45 WIB

Kota Madinah menjelang Ashar. Langit cerah. Orang-orang bergegas menuju ke masjid. Ingin bertemu dengan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam. Mereka para sahabat Anshar dan Muhajirin, yang senantiasa setia bersamanya. Di waktu suka dan duka. Mereka dalam satu ikatan aqidah Islam, yang menjadi tali ‘buhul’, yang kuat bagi kehidupan mereka bersama. Para sahabat Anshar dan Muhajirin, senantiasa berpaut dalam ikatan ukhuwah, dan saling mencintai, atau ruhul mahabbah.

Usai shalat Ashar Rasulullah Shallahu alaihi wa salam menyampaikan khotbahnya, “Amma ba’du. Sesungguhnya dunia itu indah dan manis. Allah menjadikan kalian khalifah di sana untuk melihat apa yang kalian perbuat. Waspadalah terhadap dunia dan waspadalah terhadap wanita,karena fitnah pertama Bani Israel berawal dari wanita. Ketahuilah, Bani Adam diciptakan dengan bertingkat-tingkat. Ada yang dilahirkan sebagai mukmin,hidup sebagai mukmin, dan mati sebagai mukmin. Ada pula yang lahir sebagai kafir, dan hidup sebagai kafir, dan mati sebagai kafir. Ada yang dilahirkan sebagai mukmin, dan hidup sebagai mukmin, dan mati sebagai kafir. Tapi, ada orang yang dilahirkan kafir, dan hidup sebagai kafir, dan mati sebagai mukmin.”

Maka, kehidupan manusia itu sangatlah relative, tergantung manusia, bagaimana dalam menghadapi proses kehidupan ini. Jika seseorang selalu menjaga hubungannya dengan Allah Azza Wa Jalla, melalui cara-cara yang sudah disyariatkan, maka niscaya ia akan mengakhiri kehidupannya sebagai seorang mukmin. Tapi, betapa banyaknya manusia yang lahir sebagai mukmin, dan hidup sebagai mukmin, tapi ketika mati menjadi kafir. Karena, ia diakhir hidupnya meninggalkan syariat, ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla.

Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, kemudian menyampaikan kepada kaum mukminin, yang berkumpul dihadapannya :

“Ketahuilah amarah adalah bara api yang dinyalakan di dalam dada anak Adam. Tidaklah kalian melihat matanya yang merah, dan urat-uratnya yang melembung? Jika, ada diantara kalian yang mengalaminya, hendaknya ia melihat ke tanah. Seorang lelaki yang baik adalah yang lambat marah dan cepat ridha, jika ia marah.

Seorang lelaki yang jelek adalah yang cepat marah dan lambat ridhanya, jika marah. Apabila, seseorang itu lambat marah dan lambat kembali sadar, atau cepat marah dan cepat sadar, maka kedua sifat itu sebanding”, ujar Rasulullah.

Kemudian, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam melanjutkan khotbahnya : “Ketahuilah, setiap pengkhianat akan memiliki bendera pada hari Kiamat sebesar pengkhianatannya. Ketahuilah, pengkhiantan terbesar adalah pengkhianatan seorang pemimpin. Hendaknya ketakutan kepada manusia tidak menghalangi seseorang untuk mengungkapkan kebenaran, jika ia mengatahuinya.

Ketahuilah, jihad yang paling utama adalah mengungkapkan kebenaran dihadapan seorang penguasa yang zalim”. Rasulullah Shallahu alaihi wa salam terus berkhotbah,hingga matahari hanya tinggal berwarna kemerahan diujung dahan kurma.

Beliau bersabda : “Ketahuilah bahwa masa dunia yang tersisa dibanding yang telah lewat adalah seperti hari kalian yang tersisa ini dibanding keseluruhan waktu yang lewat”. (HR. Ahmad,Tirmidzi, dan Hakim).

Rasulullah Shllahu alaihi wa salam menyinggung salah satunya adalah mengenai bahaya dunia. Beliau menjelaskan bahwa rasa dan rupa dunia adalah manis. Lalu, Beliau memperingatkan kita akan bahaya dan godaan dunia. Beliau bersabda : “Maka, waspadalah terhadap dunia”. Karena dunia membawa bencana, apabila datang dan menjadikan tubuh kurus bila pergi.

Seorang penyair mengungkapkan : “Inilah dunia. Ia berkata dengan lantang : “Hati-hati. Waspadalah terhadap cengkeraman dan pembunuhanku. Janganlah kalian terkecoh dengan senyumku, karena ucapanku menjadikan kalian tertawa, tetapi tindakanku menjadikan kalian menangis”.Lalu, Rasulullah menutup khotbahnya dengan bersabda : “Ketahuilah, masa dunia yang tersisa …..”   Dengan kalimat itu, Beliau ingin mengingatkan kita bahwa dunia, seperti digambarkan oleh Allah Swt, dalam all-Qur’an : “.. Permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnya kuning, kemudian menjadi hancur ..” (al-Hadid : 20).

“Duniamu tidak lain seperti sebuah tempat berteduh yang menaungimu, lalu menyuruhmu pergi”, ujar seorang penyair. Marilah menarik pelajaran dari ini semua. Jangan kita termasuk orang-orang yang menganggap dunia merupakan jembatan penyeberangan menuju akhirat, atau sawah ladang tempat bercocok tanam, yang menjadi bekal akhirat. Karena, tak semua orang memahami tentang kehidudpan dunia ini.

Banyak diantara mereka yang tergelincir, dan kemudian menjadi budak dunia.Mereka orang-orang yang lalai, dan merasa mulia dengan kehidupan dunia, serta menikmati berbagai aksesoris yang megah, dan palsu. Berupa benda, jabatan, wanita, dan segala bentuk atribut lainnya, yang tak berarti apa-apa.

Padahal, mereka ketika sudah menghadap Allah Azza Wa Jalla, menjadi orang paling hina nestapa, tak memiliki kemuliaan apapun. Wajah hitam hangus. Akibat panasnya api neraka. Wallahu ‘alam. (Mh)

Sumber : Eramuslim

Monday 21 March 2016

Siapakah Manusia Terbaik???

Di antara karunia Allah yang paling berharga bagi manusia adalah usia, waktu, dan kesempatan hidup. Dengan ketiga hal itu manusia bisa berkarya, mengukir prestasi, beribadah, dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jika orang Barat berkata bahwa waktu adalah uang (time is money), lalu bangsa Arab mengibaratkan waktu laksana pedang yang jika tidak ditebas ia akan menebas, Islam mengajarkan waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan.

Sumpah Allah dengan keseluruhan waktu menjadi petunjuk atas hal itu. Dalam Alquran Allah bersumpah dengan waktu fajar, Subuh, dhuha, siang, asar, dan malam. Di samping untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, sumpah Allah dengan waktu merupakan isyarat agar manusia mempergunakan waktu yang dimiliki secara optimal.

Allah berfirman, ''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati dengan kebenaran, serta nasihat-menasihati dalam kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Ketika Rasulullah SAW ditanya, ''Siapa manusia terbaik?'' Beliau menjawab, ''Orang yang panjang usianya dan baik amalnya.'' Beliau kembali ditanya, ''Lalu siapa manusia terburuk?'' Jawab Rasul, ''Orang yang panjang usianya tetapi jelek amalnya.'' (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, generasi saleh terdahulu begitu menghargai waktu. Usia singkat yang Allah karuniakan pada mereka benar-benar dimanfaatkan untuk amal-amal positif, hingga melahirkan banyak karya yang monumental.

Misalnya, sahabat yang bernama Sa'ad ibn Mu'adz. Ia masuk Islam pada usia 30 tahun dan meninggal pada usia 37 tahun. ''Singgasana Tuhan berguncang karena kematian Sa'ad ibn Mu'adz,'' begitu komentar Rasulullah atas kematian Sa'ad. Meski hanya tujuh tahun bersama Islam, ia telah memberikan kontribusi besar dalam jihad dan dakwah Islam.

Contoh lainnya, Imam Nawawi yang berusia tidak lebih dari 40 tahun, tetapi berhasil menulis sekitar 500 buku. Salah satunya kitab Riyadhus Shalihin yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Lewat karya-karya dan jasa yang ditorehkan itu, hidup mereka membentang hingga akhir zaman, jauh melampaui usia biologisnya.

Mereka itulah teladan umat yang mampu meresapi keluhuran ajaran Nabi SAW dalam sabdanya, ''Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, serta ilmunya dalam hal apa ia amalkan.'' (Hadis Shahih Riwayat At Tirmidzi dan Ad Darimi).

Do'a dan Keyakinan

Setiap manusia senantiasa berharap sukses dalam kehidupan dengan memperoleh semua yang diinginkan dan dicita-citakannya. Kesuksesan ini bisa dalam bentuk sukses materi, sukses sosial, sukses intelektual, atau sukses emosional. Setiap kesuksesan tersebut bagi seorang Muslim, tidak hanya diperoleh dengan ikhtiar, namun  disertai doa.

Doa merupakan pendorong rohaniah untuk terus berusaha karena meyakini bahwa setiap usaha yang dibarengi doa pasti akan sukses. Allah berfirman, ''Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku jawab.'' (QS Al-Mu'min [40]: 60).

Dengan keyakinan ini setiap ikhtiar yang kita usahakan akan dilakukan dengan sebaik mungkin, kalau bisa sampai sempurna atau minimal mendekati kesempurnaan. Dalam sebuah hadis Qudsi rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya Allah berfirman: Aku akan mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku.'' (HR Bukhari Muslim).

Para nabi dan Rasul, sebagaimana dikisahkan secara indah dalam Alquran senantiasa berdoa untuk sukses dalam misinya sebagai pribadi atau sebagai pemimpin umat. Nabi Ayub berdoa untuk sembuh dari penyakit; Nabi Isa berdoa untuk mendapat rezeki yang halal; Nabi Zakaria berdoa untuk mendapatkan keturunan yang baik; Nabi Sulaeman berdoa untuk mendapatkan kekuasaan. Doa-doa mereka merupakan doa-doa yang baik (ma'tsurat) yang dapat kita contoh dengan mengikuti dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Doa juga dinilai sebagai ibadah yang utama di sisi Allah, ''Tidak ada satu pun amal yang lebih mulia pada pandangan Allah daripada doa,'' (HR Bukhari). Bahkan, Allah membenci orang-orang yang enggan berdoa kepada-Nya, ''Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (tidak mau berdoa), akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.'' (QS Al-Mu'min [40]: 60). Betapa tingginya nilai doa bagi seorang Muslim, sehingga rasul menyatakan doa merupakan intinya ibadah (mukhul ibadah) dan senjata bagi orang yang beriman.

Agar kita senantiasa sukses dalam hidup marilah kita berdoa, baik di kala susah atau senang, ketika miskin atau kaya, dalam keadaan lapang atau sempit. Doa yang dipanjatkan secara dawam (rutin) inilah yang paling Allah sukai. ''Barang siapa yang menginginkan doanya dipenuhi Allah ketika dia dalam kesulitan, hendaknya dia memperbanyak doa di waktu lapang (HR Tirmidzi dan Hakim).

Perhiasan Dunia

Dunia adalah perhiasan (HR Muslim). Sesungguhnya kehidupan dunia itu merupakan kesenangan yang bersifat sementara (QS Ghafir [40]: 39), dan semua perhiasan serta kesenangan dunia itu memiliki karakter yang dapat melalaikan manusia (QS Al-Hadid [57]: 20). Karena itu, berhati-hati terhadap perhiasan dunia tersebut.

Akan tetapi, ada satu perhiasan dunia yang tidak akan melalaikan dan menjadi dambaan bagi semua insan, yaitu wanita salehah yang menjadi hiasan terbaik dunia (HR Muslim). Nah, mengapa wanita salehah disebut sebagai hiasan terbaik dunia?

Pertama, karena wanita yang salehah itu akan dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik baginya dari seorang istri yang salehah. Jika suami memerintahkannya, ia menaatinya. Jika suami memandangnya, ia membahagiakannya. Jika suami bersumpah atas dirinya, ia memenuhi sumpahnya. Jika suami pergi, ia menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya." (HR Ibnu Majah).

Kedua, wanita yang salehah akan dapat membantu meringankan dalam urusan dunia. Rasulullah SAW bersabda, "Hai Muadz, hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri salehah yang akan membantumu dalam urusan dunia dan agamamu adalah amalan terbaik yang dilakukan manusia." (HR Thabrani).

Ketiga, wanita yang salehah akan selalu mengingatkan kepada kehidupan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Setelah turun ayat yang berisi penjelasan tentang emas dan perak, para sahabat bertanya-tanya, 'Lalu, harta apakah yang seharusnya kita miliki?' Umar berkata, 'Aku akan memberitahukan kepada kalian mengenai hal itu.' Lalu, beliau memacu untanya dengan cepat sehingga dapat menyusul Rasulullah SAW, sedangkan aku berada di belakangnya. Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah, harta apakah yang seharusnya kita miliki?' Nabi SAW menjawab, 'Hendaknya salah seorang di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang membantunya dalam merealisasikan urusan akhirat'." (HR Ibnu Majah).

Keempat, wanita salehah merupakan anugerah terbaik dalam menyempurnakan agama. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa diberi anugerah oleh Allah seorang istri yang salehah, berarti Allah telah membantunya untuk mewujudkan separuh agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang kedua." (HR Hakim).

Semoga Allah membimbing kita para wanita agar menjadi wanita salehah sebagai perhiasan terbaik dunia yang dapat melahirkan generasi yang terbaik pula. Amin.

10 Penangkal Hasad

Salah satu sifat tercela dan sangat berbahaya menurut Islam adalah dengki (hasad). Penyakit dengki tidak hanya buruk bagi pelakunya, tetapi juga berbahaya bagi orang lain. Bagi pelakunya, penyakit dengki melahirkan sikap iri hati dan benci terhadap orang yang menjadi objek kedengkiannya.

Jiwa pendengki itu selalu menderita dan resah karena tidak pernah merasa bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Pendengki juga sering kali gagal mensyukuri nikmat Allah karena nikmat yang didapat orang lain itu, menurutnya, lebih pantas diterimanya. Pendengki cenderung egois karena merasa dirinyalah yang paling pantas mendapat kenikmatan.

Dengki sangat berbahaya bagi sang pelaku karena dapat menghanguskan amal kebaikan. Nabi SAW bersabda, "Hasad itu melahap semua kebaikan, sebagaimana api melahap kayu bakar. Sedangkan, sedekah itu memadamkan dosa, sebagaimana air memadamkan api" (HR Ibn Majah).

Sejarah membuktikan bahwa karena dengki, putra Nabi Adam AS, Qabil, tega membunuh saudaranya kembarnya, Habil, lantaran kurbannya tidak diterima oleh Allah SWT. (QS al-Ma\'idah [5]: 30).

Sebagai akhlak tercela, dengki dapat menjerumuskan pelaku kepada perbuatan yang lebih hina dan tidak berperikemanusiaan. Misalnya, pendengki dapat saja memusuhi bahkan membunuh orang lain yang menjadi rivalnya.

Pendengki selalu tidak rela dan tidak senang melihat orang lain senang, sebaliknya pendengki senang melihat orang lain susah dan menderita. Seolah-olah kenikmatan dan kebahagiaan itu hanya miliknya sendiri.

Dengki merupakan senjata yang sering digunakan setan untuk memprovokasi manusia agar saling bermusuhan, membenci, dan mendendam satu sama lain. Permusuhan karena dengki tidak jarang melibatkan "kekuatan tertentu", misalnya, dukun santet atau tukang teluh untuk menyerang dan menghabisi lawan bisnis atau politik yang didengkinya.

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, pilar kekufuran itu ada empat, yaitu takabur (sombong, arogan), dengki, marah, dan syahwat. Takabur menghalangi pelakunya bersikap patuh.Dengki menyebabkan tidak mau menerima dan memberi nasihat. Marah menjadi penyebab berlaku tidak adil. Sedangkan, syahwat menjadi penghalang fokus dalam beribadah.

Menurut al-Mawardi, penyebab penyakit dengki itu ada tiga, yaitu kebencian, ketidakberdayaan, dan kemurkaan. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT dari kejahatan pendengki.

Menurut Ibn Qayyim, ada 10 tips penangkal bahaya dengki dan para pendengki. Pertama, memohon perlindungan kepada Allah, antara lain, dengan membaca surat al-Falaq tersebut sebelum tidur. Kedua, bertakwa kepada-Nya dengan senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, bersabar dalam menghadapi pendengki dengan tidak mengeluh. Keempat, bertawakal kepada Allah.

Kelima, mengosongkan hati dan pikiran dari sifat dengki. Keenam, selalu menerima ketetapan Allah dengan ikhlas.
Ketujuh, bertaubat hanya kepada Allah dari segala dosa. Kedelapan, memperbanyak sedekah dan berbuat baik (ihsan)

semaksimal mungkin. Kesembilan, memadamkan api dengki dengan berbuat baik kepada sang pendengki.
Ke-10, memurnikan tauhid dengan senantiasa meyakini bahwa yang dapat mendatangkan manfaat dan bahaya hanyalah Allah SWT.

Menggali Makna Basmallah

Setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Dari seratus empat belas surat dalam Alquran hanya satu surat yang tidak diawali basmalah, yaitu QS At Taubah [9]. Apa artinya? Basmalah menduduki posisi sangat penting dalam Islam. Ia akan menentukan nilai sebuah amal, apakah bernilai ibadah atau tidak. Sehingga, semua yang kita lakukan harus berlandaskan basmalah. Kita dituntut untuk menggantungkan semua amal perbuatan kepada Allah, serta menghiasi amal-amal tersebut dengan kasih sayang.

Secara syar'i, membaca basmalah hukumnya bisa wajib dan juga bisa sunat. Saat menyembelih hewan misalnya, membaca basmalah hukumnya wajib. Jika tidak diucapkan maka daging hewan sembelihan menjadi tidak halal. Dalam situasi khusus, misalnya saat suami dan istri hendak beribadah, maka basmalah harus diucapkan. Basmalah pun hukumnya bisa sunat, misalnya saat kita makan dan minum. Ketika kita tidak mengucapkannya, makanan dan minuman yang kita konsumsi statusnya tetap halal.

Dilihat dari susunan katanya, basmalah berisi kata bi yang artinya dengan, dan kata ismillah yang artinya menyebut nama Allah. Dalam kaidah lughah, kata bi itu harus ada muta'alif-nya, seperti  dengan pulpen. Apa yang dengan pulpen? Artinya menulis dengan pulpen. Contoh lain dengan sendok. Apa yang dengan sendok? Makan misalnya, berarti memakan dengan menggunakan sendok.

Nah, dalam kalimat basmalah, Dengan menyebut nama Allah, di mana letak muta'alif-nya atau sebelumnya? Para ulama mengondisikan muta'alif itu sesuai dengan situasi tertentu. Misalnya saat makan kita mengucapkan basmalah, maka artinya kita sedang makan dengan menyebut nama Allah. Muta'alif itu sendiri berati amal yang mengiringi kata dengan atau bi.

Allah adalah lafdu jalallah; artinya Allah adalah lafadz yang sangat agung. Dalam bahasa Arab, lafadz Allah tidak memiliki asal kata. Kita tahu unsur kata Allah bukan dari buatan manusia namun langsung dari Allah sendiri. Karena itu, kata Allah inilah yang disebut sebagai lafadz yang sangat agung. Bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sangat agung, maka kita paham bahwa setiap kali mengucapkan basmalah, maka kita memulai ucapan dengan nama yang teramat agung yaitu Allah.

Dalam basmalah termaktub dua asma' Allah teragung, yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Walau ada sembilan puluh sembilan nama Allah, namun hanya Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim atau Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang yang disebutkan. Mengapa? Sebab dua sifat ini yang mendominasi dan paling umum. Dilihat secara bahasa untuk setiap kata-katanya, Bismillah, lalu Ar-Rahmaan, kemudian Ar-Rahiim. Arti dari kalimat pertama adalah Dengan menyebut nama Allah. Kalimat berikutnya, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini membuktikan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

Penyebutan Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini mengandung dua konsekuensi. Pertama, kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini adalah hak prerogatif Allah. Dia berkehendak menyebutkan namanya sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua, dengan kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, Allah seakan memperkenalan Diri kepada makhluk-Nya agar mereka lebih dekat dan lebih jelas dalam mengenal Dzat Pencipta.

Sukses Bersama Al-Qur'an

 Ujian nasional (UN) akan kembali dilaksanakan. Dalam menghadapi UN, tidak sedikit siswa yang menggunakan cara instan, seperti sistem kebut semalaman (SKS) hingga menyontek secara terorganisasi. Jika berhasil (lulus UN), maka ilmu yang didapat tidak akan berkah.

Jika demikian, UN hanya akan mengantarkan siswa menjadi insan yang cerdas secara intelektual tetapi lemah secara spiritual. Selain persiapan secara akademis, ada upaya spiritual yang perlu dilakukan agar siswa dapat meraih sukses dalam UN.

Jika datang pertolongan Allah, maka kesuksesan itu pasti akan mudah diraih (QS an-Nashr [110]: 1). Bagaimana agar datang pertolongan Allah SWT? Di antaranya memperbanyak doa, terutama di sepertiga waktu malam. Selain dengan usaha belajar secara intensif, siswa hendaknya membiasakan diri dengan shalat Tahajud, dan doa (permohonan) yang mengiringi dalam Tahajud itu akan lebih mudah untuk dikabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki, seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. Allah SWT berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'" (HR Ahmad).

Dan, jangan lupa untuk selalu membaca Alquran. Selain akan merasakan ketenangan jiwa, orang (siswa) yang sibuk dengan Alquran akan diberikan kemudahan dalam meraih setiap keinginan, termasuk kemudahan dalam menghadapi UN.

Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, "Barang siapa yang disibukkan oleh Alquran sehingga ia tidak sempat meminta (berdoa) kepada-Ku, akan Aku berikan kepadanya sesuatu yang paling baik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta, dan keutamaan kalam Allah terhadap seluruh kalam selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya." (HR Ahmad dan Thabrani).

Dengan demikian, jika setiap siswa yang mengikuti UN berharap dapat lulus dengan nilai terbaik, maka siswa yang sibuk dengan Alquran melalui aktivitas tilawah maupun menghafal dengan tetap belajar secara intensif, maka ia akan mendapatkan jaminan kemudahan dan meraih kesuksesan dalam UN.

Karena itu, sebelum, selama, dan setelah ujian nasional, siswa hendaknya tetap istiqamah dalam berinteraksi dengan Alquran sehingga kesuksesan akan selalu menyertainya. Yakinlah!

6 Langkah Menyenangkan Suami Saat Di Pandang

6 Langkah Menyenangkan Suami Saat Dipandang

Salah satu ciri-ciri istri salihah adalah menyenangkan suami saat dipandang. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah yang artinya, “Sebaik-baik perempuan (istri) ialah yang menyenangkan hatimu apabila kamu memandangnya.” (HR. Ath-Thabrani).

Pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan para istri agar suami senang ketika memandangnya? Di bawah ini ada beberapa langkah untuk menyenangkan suami kala ia memandang istri. Ketika pandangan suami sudah terpuaskan di rumah, maka ia tidak akan mengumbar pandangan di luar.

Tampil wangi. Secara umum laki-laki atau kaumnya para suami itu senang dengan wewangian. Itulah kenapa syariat Islam mengatur bahwa perempuan yang keluar dari rumah dilarang memakai wangi-wangian. Laki-laki akan mudah terbangkitkan libidonya dengan mencium wewangian dari tubuh perempuan. Jadi pastikan bahwa yang wangi ini hanya untuk suami saja.
Tampil cantik. Definisi tampil cantik ini tidak sama bagi tiap-tiap pasangan. Ada suami yang suka istrinya tampil cantik dengan berdandan full make up. Ada yang lebih menyukai tampilan alami, bersih dari make up apapun meskipun hanya seulas bedak. Ada suami yang menghendai istr berpakaian rapi ala pegawai kantoran lengkap dengan dandanannya ketika ia santai di rumah. Ada juga suami yang lebih menyukai istri memakai lingerie. Tentu saja setelah anak-anak tidur atau tidak di rumah. Ada juga suami yang merasa istrinya sangat cantik dalam balutan pakaian kebesaran yaitu daster. Terlihat natural, katanya. Jadi silakan berkomunikasi dengan para suami masing-masing, tampil cantik manakah yang lebih disukainya.
Bugar. Suami mana yang tidak suka memandang istri yang bugar? Kebugaran itu identik dengan sehat. Kebugaran tidak harus melalui olahraga yang mahal. Selain pekerjaan rumah tangga yang memang membutuhkan stamina fisik yang prima, usahakan untuk mempertahankan kebugaran meskipun hanya dengan berjalan-jalan sekitar rumah usai Subuh, misalnya.
Merawat tubuh. Jangan bayangkan merawat tubuh ini harus di salon mahal lengkap dengan mandi spa, luluran, meni-pedi, nyalon full body dan sebagainya. Kalau ada budgetnya sih tak masalah. Bila pun tak ada, merawat tubuh standard tetap harus dilakukan. Jaga kebersihan dengan rutin mandi. Perhatikan asupan makanan dengan yang bergizi (karena halal sudah secara otomatis).
Bekali diri dengan pikiran positif dan percaya diri. Kedua hal ini akan membuat seorang perempuan terlihat menarik. Pikiran positif dan percaya diri akan memancar dengan indah yang itu akan berefek pada tampilan diri secara keseluruhan. Tak ada suami yang tak suka memandang perempuan dengan porsi percaya diri yang cukup dan pikiran positif yang menyertai. Jadikanlah laki-laki yang memandang itu hanya suami masing-masing saja, bukan orang lain.
Doa. Tak ada kekuatan apapun melebihi doa agar suami istri bisa saling memberi ketenangan dan ketenteraman jiwa pada masing-masing pasangan. Dengan doa dan hati yang penuh syukur, semua upaya di atas akan terlihat maksimal sehingga suami tak akan pernah bosan memandang istrinya.
Keenam langkah di atas semoga bisa menjadi salah satu kunci keharmonisan suami istri sehingga suami merasa senang dan tenang memandang istrinya. Di titik inilah, tujuan satu keluarga mencapai samara (sakinah mawaddah wa rahmah) akan terwujud. Insya Allah.

Sunday 20 March 2016

Penerapan K13

Mendikbud: Implementasi Kurikulum 2013 Butuh Waktu Tujuh Tahun

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan mengatakan implementasi Kurikulum membutuhkan waktu yang tak sebentar karena dilakukan secara bertahap.

"Implementasi Kurikulum 2013 itu membutuhkan waktu tujuh tahun (2013-2020) karena penerapannya bertahap," katanya, Ahad (20/3).

Untuk saat ini, Kemendikbud fokus pada persiapan pelatihan bagi para guru. Tujuannya agar kurikulum 2013 bisa diterapkan di sekolah dengan lebih mudah.

"Jadi gurunya pelatihan dulu, baru penerapan. Semua negara didunia ini membutuhkan dan memberi rentang waktu yang cukup untuk mengganti kurikulum di sekolah," katanya.

Menteri kelahiran Kuningan pada 7 Mei 1969 itu tidak mau lagi mengulang pengalaman buruk pada 2014 ketika ada dua kurikulum yang diberlakukan.

"Kita pernah mencoba tahun 2014 satu negara menerapkan dua kurikulum di tahun yang sama. Ya, terjadi masalah," katanya.

Pemerintah sudah menetapkan rentang waktu implementasi kurikulum tujuh tahun sesuai dengan peraturan pemerintah (PP). Misalkan untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006 dengan rentang pemberlakuan dari tahun 2004-2011 yang berarti penerapan secara menyeluruh terjadi pada tahun 2011.

Demikian juga dengan K13 ditargetkan penerapannya menyeluruh tujuh tahun dari 2013-2020.

"Jadi, target sesuai PP adalah K13 akan diimplementasikan setelah waktu tujuh tahun diluncurkan," katanya.

Thursday 17 March 2016

Mustajab Do'a Pada Hari Jum'at

Tahukah Anda? Ada Saat Do’a Mustajab pada Hari Jum’at, Ayo Manfaatkan !

Doa adalah senjata orang mukmin, ia penghilang kegundahan, pelenyap kesusahan dan solusi jitu untuk menyelesaikan berbagai problematika hidup, karena memang pada saat berdoa kita sedang memohon kepada Dzat yang Menguasai dan Memiliki seluruh jagad raya ini; di tangan-Nya lah segala perbendaharaan langit dan bumi. Pertanyaannya, kapankah waktu ketika doa dijamin akan dikabulkan pada hari Jum’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh  Al-Bukhari dan Muslim dalam shahihnya?

Sebaik-baik hari bagi umat Islam dalam sepekan adalah hari Jum’at. Ia-lahsayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Ta’ala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat Al-Kahfi, shalat Jum’at berikut amalan-amalan yang menyertainya, dan amal ibadah lain yang sangat dianjurkan sekali pada hari Jum’at. Di dalamnya juga terdapat satu waktu di mana doa begitu mustajab; dijanjikan akan dikabulkan. Tidaklah seorang hamba yang beriman memanjatkan do’a kepada Rabbnya pada waktu itu kecuali  Allah akan mengabulkannya selama tidak berisi pemutusan silaturahmi dan tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan dan memanfaatkan waktu yang berbarakah ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum’at lalu beliau bersabda,

« فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ »

“Pada hari  itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim shalat berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (HR. Bukhari nomor 893[1]dan Muslim nomor 852) [2]



Hadits ini berkaitan dengan salah satu keutamaan hari Jum’at di mana pada hari tersebut Allah akan mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Nya. Doa yang dipanjatkan pada saat itu mustajab (mudah dikabulkan) karena bertepatan dengan waktu pengabulan doa.

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang waktu dikabulkannya doa pada hari Jum’at ini. Sampai-sampai Ibnu Hajar[3] dan Asy-Syaukani[4] menyebutkan empat puluh tiga pendapat beserta argument masing-masingnya. Dari kesemuanya, pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ini ada dua; yaitu pertama, sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai, dan kedua, di akhir waktu setelah shalat Ashar. Tentang hal ini, Ibnu Hajar berkomentar, “Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling kuat adalah hadits Abu Musa (sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai) dan hadits Abdullah bin Salam (akhir waktu setelah shalat Ashar).” Muhibb Ath-Thabari juga berkata, “Hadits yang paling shahih adalah hadits Abu Musa, dan pendapat yang paling masyhur adalah pendapat Abdullah bin Salam.[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah dua pendapat yang dituntut oleh hadits-hadits yang tsabit, dan salah satunya lebih kuat daripada yang lain.”[6] Dari sinilah kemudian para ulama salaf berbeda pendapat manakah dari keduanya yang lebih kuat.



Berikut ini uraian lebih rinci tentang kedua pendapat tersebut :

Pendapat pertama : waktu mustajab itu dimulai sejak duduknya imam di atas mimbar sampai shalat selesai. Hujjah dari pendapat ini adalah hadits Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari, dia bercerita, “Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jum’at?’ Aku (Abu Burdah) menjawab, “Ya, aku pernah mendengarnya berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ

“Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat.” (HR. Muslim nomor 853 [7] dan Abu Dawud nomor  1049 [8]).

Pendapat kedua : waktu mustajab berada di akhir waktu setelah shalat Ashar.

Hadits yang menerangkan hal ini cukup banyak, di antaranya :

1. Hadits Abdullah bin Salam

Abdullah bin Salam berkata, “Aku berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jum’at terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sesaat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya,‘kapan saat itu berlangsung?’ beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Saat itu berlangsung pada akhir waktu siang.” Setelah itu  Abdullah bertanya lagi, ‘Bukankah saat itu bukan waktu shalat?’ beliau menjawab,

بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاة

“Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat.” (HR. Ibnu Majah nomor 1139, dan Syaikh Al-Albani menilainya hasan shahih[9]).

2. Hadits Abu Hurairah

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Suatu ketika saya keluar menuju sebuah bukit, lalu saya berjumpa dengan Ka’ab Al-Ahbar, maka saya pun duduk-duduk bersamanya. Lantas, ia menceritakan perihal kitab Taurat kepada saya, dan saya pun menceritakan perihal Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepadanya.

Di antara perkara yang saya ceritakan kepadanya ialah, ketika itu saya mengatakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sebaik-baik hari yang disinari matahari ialah hari Jum’at –sampai pada sabda beliau- ‘Di dalamnya terdapat satu waktu, tidaklah seorang muslim melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, lalu ia memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya itu.”

Ka’ab berkata, ‘Apakah yang demikian itu berlangsung satu hari dalam setahun?’, maka, saya menjawab, ‘Bukan, tetapi dalam setiap hari Jum’at.’ Lantas, Ka’ab pun membaca kitab Taurat, lalu ia berkata, ‘Rasulullah benar’

Abu Hurairah melanjutkan, “Lalu saya berjumpa dengan Bashrah bin Abu Bashrah Al-Ghifari. Lantas, ia bertanya kepada saya. ‘Dari mana Anda tadi?’ saya menjawab, ‘Dari sebuah bukit’ maka ia berkata, ‘Kalau saja saya berjumpa dengan Anda sebelum Anda keluar ke sana, maka saya tidak akan keluar. Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak boleh bepergian (dalam rangka beribadah) kecuali ke tiga masjid: masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi), dan masjid Elia (masjil Aqsha di Baitul Maqdis). Ia ragu.’

Abu Hurairah berkata, “Saya kemudian berjumpa dengan Abdullah bi Salam. Maka saya pun menceritakan perihal perbincangan saya dengan Ka’ab Al-Ahbar kepadanya, dan mengenai apa yang saya ceritakan kepadanya tentang hari Jum’at.”

Saya –Abu Hurairah- berkata, “Ka’ab mengatakan bahwa yang demikian itu terjadi satu hari dalam setahun.”

Abu Hurairah melanjutkan, “Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab telah berbohong.’, lalu saya mengatakan, ‘Kemudian Ka’ab membaca kitab Taurat, dan berkata, ‘Ya, benar, yang dimaksud ialah pada setiap hari Jum’at.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab benar.’ Selanjutnya, Abdullah bin Salam mengatakan, ‘Sesungguhnya saya mengetahui persis mengenai waktu yang dimaksud itu?’

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata kepadanya, ‘Beritahukan kepada saya tentang waktu itu, dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya terhadap saya.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Waktu yang dimaksud adalah waktu yang akhir pada setiap hari Jum’at.’

Abu Hurairah berkata, “Lantas, saya bertanya, ‘Bagaimana mungkin kalau waktu yang dimaksud ialah saat-saat yang terakhir pada hari Jum’at, sementara Rasulullah sendiri telah bersabda, “Tidaklah seorang muslim menjumpainya, di kala ia sedang melakukan shalat…; sementara waktu yang kamu sebutkan itu ialah waktu yang tidak boleh melakukan shalat?’

Lantas, Abdullah bin Salam menjawab,

أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ حَتَّى يُصَلِّىَ »

‘Bukankah Rasulullah juga telah bersabda, ‘Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis sambil menunggu-nunggu shalat, maka ia itu berada dalam kondisi melakukan shalat hingga ia benar-benar melaksanakan shalat?’.”

Lantas, Abdullah bin Salam menjawab,

أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ حَتَّى يُصَلِّىَ »

‘Bukankah Rasulullah juga telah bersabda, ‘Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis sambil menunggu-nunggu shalat, maka ia itu berada dalam kondisi melakukan shalat hingga ia benar-benar melaksanakan shalat?’.”

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata, ‘Ya, tentu.’ Abdullah bin Salam berkata, ‘Ya, itulah waktu yang dimaksud’.” (HR. Abu Dawud nomor 1046[10], At-Tirmidzi nomor  491, dan Abu Isa berkomentar hadits hasan shahih, sedangkan Al-Albani berkomentar hadits shahih.[11]).

3. Hadits Jabir bin Abdillah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Dari Jabir bin Abdillah, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari Jum’at adalah dua belas jam. Di dalamnya terdapat satu waktu di mana tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu, melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah ia pada saat-saat terakhir setelah shalat Ashar.”  (HR. An-Nasa’I nomor 1388[12]).

Dari dua pendapat ini, pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini dianut oleh Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad dan yang lainnya.[13] Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, “Saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahli Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut.” [14]

Sekalipun pendapat kedua lebih kuat, beberapa ulama tetap menganggap bahwa pendapat pertama juga perlu diakui keabsahannya. Oleh karenanya mereka berusaha mengambil jalan tengah dengan menggabungkan kedua pendapat di atas. Tetap melazimi berdoa pada kedua waktu tersebut.



Imam Ahmad berkata, “Mayoritas hadits tentang waktu yang diharapkan terkabulnya doa menunjukkan bahwa itu terjadi setelah Ashar, tetapi juga diharapkan setelah tergelincirnya matahari (setelah imam berdiri untuk berkhutbah pen.).” [15]

Ibnu Abdil Barr berkata, “Semestinya yang dilakukan seorang muslim adalah bersungguh-sungguh memanjatkan doa kepada Allah untuk kebaikan agama dan dunia pada dua waktu yang telah disebutkan karena berharap dikabulkan. Karena doa itu tidak akan sia-sia, insyaAllah. Sungguh benar perkataan Ubaid bin Abrash yang mengatakan, “Siapa yang meminta kepada manusia, mereka akan menolaknya, dan siapa yang meminta Allah, pintanya tidak akan sia-sia.” [16] Bahkan, Ibnul Qayyim yang menguatkan pendapat kedua pun, beliau tetap menekankan agar setiap muslim tetap membiasakan berdoa pada waktu shalat. Katanya, “Menurut hemat saya, waktu shalat juga merupakan waktu yang diharapkan terkabulkannya doa. Jadi, keduanya merupakan waktu mustajab meskipun satu waktu yang dikhususkan di sini adalah akhir waktu setelah shalat Ashar. Sehingga ia merupakan waktu yang telah diketahui secara pasti dari hari Jum’at; tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat, ia mengikuti shalat itu sendiri; maju atau mundurnya. Sebab, dengan berkumpulnya kaum muslimin, shalat, kekhusyukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki dampak dan pengaruh yang sangat besar untuk dikabulkan. Karena, ketika kaum muslimin sedang berkumpul sangat diharapkan sekali doa terkabulkan.” [17]Selanjutnya Ibnul Qayyim berkesimpulan, “Dengan demikian, semua hadits yang disebutkan di atas sesuai dan berkaitan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanjatkan doa dan bermunajat kepada Allah pada dua waktu dan masa ini.”[18]

Hal ini juga diikuti oleh Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa’id bin Ali al Qahthan dalam Shalâtul Mukmin. Syaikh Ibnu Bazz berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jum’at. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar. Mungkin saat ini juga terjadi setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan.” [19]

Jadi, mari tetap memuliakan dua waktu tersebut dengan banyak-banyak berdoa, karena doa kita pasti dikabulkan, entah kapan; diijabahi langsung, atau dihindarkan dari bahaya yang setara dengan doanya, atau sebagai penghapus dosa, atau menjadi simpanan di akhirat kelak. Wallahu A’lam bish Shawab.

Takutnya Seorang Mukmin Terhadap Dosa

Sesungguhnya seorang mukmin (ketika) ia melihat dosa-dosanya adalah seperti (ketika) ia duduk di lereng sebuah gunung, dan ia sangat khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan seorang fajir (orang yang selalu berbuat dosa), ketika ia melihat dosa-dosanya adalah seperti ia melihat seekor lalat yang hinggap di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini lalu terbang (ia menganggap remeh dosa).

عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا (رواه البخاري)

Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin (ketika) ia melihat dosa-dosanya, adalah seperti (ketika) ia duduk di lereng sebuah gunung, dan ia sangat khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan seorang fajir (orang yang selalu berbuat dosa), ketika ia melihat dosa-dosanya adalah seperti ia melihat seekor lalat yang hinggap di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini lalu terbang (ia menganggap remeh dosa).” (HR. Bukhari)

Hikmah Hadits:

Di antara ciri keimanan seseorang kepada Allah adalah rasa takut dan khawatir yang sangat besar dan mendalam terhadap dosa-dosanya. Karena setiap dosa kelak akan menjadi kepedihan mendalam dan menjadi bara neraka yang menyiksa dan menyengsarakannya. Maka ia merasa takut, seolah ia seperti berada di lereng sebuah gunung yang menjulang dan terjal, dan ia khawatir gunung tersebut akan jatuh menimpanya.
Sementara seorang ahli maksiat ia tidak takut akan perbuatan maksiat dan dosa-dosanya, sehingga setiap hari hidupnya bergelimang dengan kemaksiatan dan dosa. Ia menganggap remeh dosa-dosanya, seakan seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengusirnya dan ia mengatakan, ‘seperti ini saja’. (Menganggap dosanya seperti hinggapan lalat saja).

Wednesday 16 March 2016

3 Syarat Agar Pekerjaan Di Ridhai Allah SWT

Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia tentu tak luput dari keridhoan Allah. Sebab itulah seseorang ketika ingin beraktivitas harus berdo’a dan ikhlas dalam menjalankannya agar Allah selalu memberkahi langkah kakinya. Terlebih lagi pada pekerjaan, Allah senantiasa akan meridhoi orang yang mau bekerja. Tapi dengan catatan pekerjaan tersebut haruslah baik, sebab pekerjaan baik merupakan salah satu pekerjaan yang diridhoi Allah Ta’ala.




Seperti yang kita ketahui kita bekerja bertujuan untuk mendapatkan rezeki yang halal, sebab itulah hasil yang didapatkan juga harus berkah. Nah bagaimana sih caranya agar pekerjaan yang kita jalankan itu menjadi sebuah hal yang tetap menghubungkan kita dengan Allah? Ada beberapa syarat yang bisa anda lakukan jika ingin pekerjaan yang diberkahi oleh Allah. Mau tahu, yuk simak ulasan berikut ini :

1. Menanamkan Kualitas Tauhid Kepada Allah Ta’ala
Selagi pekerjaan itu baik, manusia bebas mejalankan pekerjaanya. Sebab Allah telah memberikan akal dan pikiran kepada manusia itu sendiri untuk bekerja dan mengejar rezeki nya. Namun semua itu harus diiringi dengan do’a kepada Allah agar Allah menghindari kita dari pekerjaan yang menjerumuskan kita pada hasil yang haram.

Sebab itulah hanya kepada Allahlah kita bersandar dan memohon. Jangan pernah jadikan manusia tempat bergantung karena rezeki,  Jodoh dan maut adalah Allah yang mengatur. Tinggal bagaimana manusia itu sendiri mau atau tidaknya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Ikhlas: 1-4, "Katakanlah: 'Dialah Allah Ta'ala, Yang Maha Esa. Allah Ta'ala adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."

Jadi untuk mendapatkan pekerjaan yang diberkahi oleh Allah, cobalah untuk menanam kualitas tauhid hanya kepada Allah Ta’ala. Dengan begitu hidup akan lebih bahagia dan sejahtera dengan Ridho Allah.

2. Kualitas Berpikir
Mendapatkan pekerjaan baik adalah dia yang selalu memiliki kualitas dalam berpikir. Tidak tergesah-gesah dan selalu memikirkan resikonya akan menjadikan pekerjaan lebih bermanfaat. Orang yang senantiasa berpikir dalam melakukan sesuatu maka Allah akan tunjukkan jalannya.

3.Kualitas Hati Nurani
Ketika kita memiliki hati yang bersih dan menanamkan kualitas hati nurani didalam diri maka semua akan terasa lebih indah didalam pekerjaan. Dengan jiwa kereligiusan akan membuat seseorang melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan. Dia juga senantiasa mengerjakan segala sesuatu dengan tuntunan islam. Dia takut untuk melakukan kecurangan dan tidak mudah terpengaruh oleh orang-orang disekitar.Dengan begitu pekerjaan akan terberkahi dan segala sesuatunya akan dimudahkan oleh Allah.

Nah itulah syarat agar pekerjaan anda mendapatkan keridhoan dari Allah SWT. Setiap kelakuan baik pasti dibalas dengan baik, dan setiap perlakuan buruk akan dibalas dengan buruk. Jadi jika anda ingin bekerja dengan baik dan mendapakan hasil yang baik maka jangan pernah putuskan untuk melafaskan do’a kepada Allah. Dan iringi dengan keikhlasan dan hati yang bersih untuk menjalankannya. Semoga bermanfaat.

Hakikat Hidup Manusia

Di sebuah sungai yang airnya tenang, ada seekor anak katak yang bertanya kepada Ibunya “Ibu, Apa sih yang paling diharapkan bangsa katak?”.

Ibunya pun menjawab, “Yang kita selalu nantikan adalah Hujan, nak”.

Si anak katak pun setelah mendapat jawaban tersebut selalu mengharapkan Hujan. Namun setelah Hujan datang, si anak katak itu selalu ketakutan karena terdapat banyak kilat dan petir yang menyambar. Si anak katak selalu sembunyi di belakang tubuh ibunya ketika kilat dan petir itu datang bersahutan.

Namun, setelah turun hujan si anak katak gembira bukan main seperti katak-katak lainnya. Mereka girang berlompatan kesana-kemari karena bagi mereka hal yang paling menyenangkan adalah ketika hujan datang.

Begitu juga dalam hidup kita, sering kali kita menemukan kesulitan –kesulitan seperti kilat dan petir menyambar yang dialami si anak katak. Sehingga terkadang kita ketakutan dalam menjalani kehidupan yang fana ini. Membuat kita jatuh dan sulit bangkit. Sehingga kita mengabaikan hakikat kita sebagai manusia ciptaan Allah. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut ini :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan“ (Al-Anbiya’ :35).

Ujian dan cobaan dalam hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah sebuah tempaan yang Allah berikan agar kita menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur atas nikmat dan limpahan rahmat yang telah Allah berikan. Terkadang ujian dan cobaan dalam hidup, membuat kita kehilangan arah. Allah menguji kita dengan kenikmatan hidup yang membuat kita terlena, namun terkadang juga berupa kesempitan dan musibah yang membuat kita jatuh tak berdaya. Sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, hidup sebelum terlelap di pembaringan untuk selamanya.

Dalam setiap ujian yang menimpa manusia akan selalu ada hikmah yang didapat. Oleh karena itu  dalam sebuah hadits dari sahabat Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ , لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ شَيْئًا إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan seorang mukmin. Tidaklah Allah menetapkan kepadanya sesuatu kecuali itu merupakan kebaikan baginya“ (H.R Ahmad).

Yakinlah setiap kehidupan yang kita jalani hari ini pasti ada kebaikan dan maksud di balik itu semua. Yang pasti akan indah pada waktunya. Tinggal kita yang memilih ingin hidup menjadi pemenang dan bahagia dengan proses yang telah Dia tetapkan atau menjadi pengecut yang takut menjalani kehidupan yang fana ini. Karena pada hakikatnya “Jatuh itu pasti tapi bangkit adalah sebuah pilihan”.

Tuesday 15 March 2016

Bertobat Penawar Godaan Iblis

Begitu diusir dari surga, iblis mengajukan satu permintaan kepada Allah agar dapat menggoda manusia sampai akhir zaman. Permintaan tersebut pun dikabulkan.

Iblis berkata, "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan." Allah berfirman,

"Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)." Iblis menjawab, "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya." (QS Shaad [38]: 79-82).

Iblis berjanji dengan berbagai daya dan upaya akan menyesatkan umat manusia hingga hari kiamat kelak. Inilah mengapa iblis diberikan umur panjang dan kemampuan beranak-pinak dengan cepat. Tiap kelahiran satu anak manusia, maka lahirlah keturunan iblis. Namun, begitu manusia meninggal, iblis tetap hidup.

Meski iblis mendapatkan kesempatan menggoda anak manusia hingga hari kiamat, Allah memberikan penawarnya, yakni dengan menjaga konsistensi bertobat nasuha. Ini seperti penegasan surah al-Baqarah ayat ke-160. "Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskannya. Mereka itulah yang Aku terima tobatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."

Dalam kisah ini hendaknya kita juga mengambil pelajaran, selain mendoakan keselamatan bagi orang lain, berdoalah juga untuk keselamatan diri kita sendiri agar Allah tidak menyesatkan kita seperti Allah telah menyesatkan iblis yang angkuh dan menyombongkan diri sendiri.

Kesombongan Yang Menghapus Ibadah

Kesombongan iblis yang hanya sesaat, mampu menghapus ibadahnya selama ribuan tahun. Kisah iblis bisa menjadi cerminan bagi kita umat Islam untuk tidak berbangga dengan ibadah yang sudah dilakukan selama bertahun- tahun.

Karena, sesungguhnya mudah bagi Allah SWT untuk menggelincirkan setiap umatnya yang dikehendaki pada kesesatan dan mudah juga bagi Allah memberikan hidayah meski umatnya telah berbuat dosa selama hidupnya.

Mengutip kitab tafsir Marah Labid atau yang masyhur dikenal dengan Tafsir al- Munir karya Imam an-Naawi al-Bantani serta dinukilkan dari Hasyiyat as-Shawi atas Tafsir al-Jalalain, dalam sejumlah riwayat terungkap, konon iblis adalah penjaga surga dalam kurun waktu 40 ribu tahun.

Ia pernah hidup bersama dengan malaikat selama 80 ribu tahun dan tawaf mengelilingi Arsy bersama para malaikat selama 14 ribu tahun.

Iblis tidak merasa lelah atau mengeluh dalam menjalankan perintah Allah SWT. Iblis menjalankan dengan ikhlas, tidak ada niat apa pun kecuali karena Allah semata. Pada masa itu, malaikat dan lainnya memberi gelar al-'Aziz (makhluk Allah yang termulia) kepada iblis, ada juga yang memberi gelar `Azazil (panglima besar malaikat).

Di langit pertama sampai ketujuh, iblis begitu dihormati oleh para malaikat. Jika iblis lewat di depan para malaikat maka malaikat menghormati iblis bagaikan penghormatan prajurit kepada komandannya, pengawal istana pada rajanya, sehingga terhormatlah nama iblis di penjuru alam semesta.

Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan, Allah SWT menaikkan iblis dengan cepat ke langit karena lebih unggul ibadahnya di antara penghuni surga. Setiap pindah dari langit satu ke langit lainnya, Allah memberinya gelar. Pada langit pertama, iblis diberi gelar al-Abid (ahli ibadah).

Pada tingkatan langit kedua, iblis diberi gelar az- Zahid, kemudian di langit ketiga, namanya disebut al-'Arif. Pada langit keempat, namanya adalah al- Wali. Pada langit kelima, namanya disebut at-Taqi, di langit keenam, namanya disebut al-Kazin, dan pada langit ketujuh, namanya disebut `Azazil.

Namun, di dalam Lauhul Mahfudz, namanya berubah, bukan nama sesuai prestasi ibadahnya.
Allah menggantinya dengan nama iblis sampai akhir zaman. Perubahan nama menjadi iblis karena dia tidak menjalankan perintah Allah untuk menghormati Adam. Padahal, penghuni langit bersujud kepada Adam.

Setelah beberapa saat diciptakan, Adam meli hat semua penghuni surga sedang khusyuk menjalankan ibadah. Lalu, Allah memerintahkan seluruh penghuni langit untuk menghadap karena Allah akan menginstruksikan mereka menghormati Adam.

Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini," firman Allah seperti dikisahkan surah al-Baqarah ayat ke-30. Seketika itu, seluruh penghuni surga protes.

Bagaimana tidak? Adam yang baru saja diciptakan dan belum teruji kualitas ibadahnya tiba-tiba mesti dihormati. Karena alasan itulah para penghuni surga protes. Salah satu di antara penghuni surga berkata seperti yang diabadikan dalam surah al-Baqarah ayat ke-30.

"Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu."

Mendengarkan perkataan malaikat itu, Allah menjawab, "Sungguh aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Setelah itu, Allah menunjukkan kelebihan Adam kepada seluruh penghuni langit.

Meski baru diciptakan, Adam lebih banyak mengetahui daripada penghuni langit yang lebih dulu diciptakan.
Pada saat itu juga Allah menyerukan penghuni langit untuk mengulang apa yang telah Adam sampaikan seperti diabadikan dalam surah al- Baqarah ayat ke-31. "Sebutkan kepada-Ku, nama semua benda ini, jika kalian yang benar."

Namun, semua penghuni langit terdiam tidak bisa menjawab satu pun nama-nama benda itu dan berkata, "Mahasuci Allah, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami."

Para malaikat malu, mereka protes atas diciptakannya Adam. Untuk itu, para malaikat bertobat dan kembali memuji Allah. "Sungguh Engkau Allah yang Mahamengetahui,
Mahabijaksana." Akhirnya semua penghuni langit bersujud kepada Adam atas kelebihan yang Allah berikan kepadanya.

Membangkang Namun, satu di antara penghuni surga yang akhirnya diberi nama iblis tidak mau bersujud kepada Adam dan melayangkan protesnya lebih keras dari protes malaikat sebelumnya. "Aku lebih mulia dari Adam yang diciptakan dari tanah, sedangkan aku engkau diciptakan dari api," kata iblis.

Setelah melihat iblis tidak menyesal dan tak merasa bersalah telah menolak perintah Allah yang satu ini, Allah segera mengusir iblis dari langit. Ketika itu, keindahan langit digambarkan seperti keindahan surga. Kemudian, Allah mengubah muka iblis yang semula sangat indah cemerlang menjadi hina.

Melihat keadaan pemimpin dan bendahara surga seperti itu, para malaikat yang jadi anak buahnya menjadi sedih. Namun, apa daya Allah telah menghendaki demikian. Setelah iblis tidak lagi ada di antara mereka, malaikat langsung berkumpul dan menceritakan kejadian pengusiran iblis.

Malaikat Jibril dan Mikail menangis di antara penghuni surga. Melihat malaikat yang ditugasi sebagai pengantar wahyu dan pemberi rezeki itu menangis, Allah bertanya, "Apakah yang membuat kamu menangis?"

Dengan penuh rasa hormat, mereka menjawab, "Ya Allah! Kami tidaklah aman dari tipu dayamu."
Kemudian, Allah kembali berfirman kepada malaikat, "Begitulah Aku. Jadilah engkau berdua tidak aman dari tipu daya-Ku."

Monday 14 March 2016

Man Jadda Wajada

Man Jadda Wajada sebuah pepatah Arab yang menjadi kompas perjalanan dalam mencapai impian, angan, dan cita-cita. Sebuah pepatah yang memiliki kekuatan yang sedemikian takjubnya hingga banyak orang-orang muslim percaya dan memegangnya sebagai prinsip dan pedoman, namun bila seseorang teguh benar menelaah secara mendalam pepatah ini. Maka tidaklah jadi prinsip dan pedoman saja, melainkan akan mendarah daging pada hati dan jiwa seseorang itu.

Pepatah ini begitu menjamur di berbagai lembaga keislaman terutama di kalangan pondok-pondok pesantren dan modern, hampir seluruh santri-santrinya di ajarkan untuk selalu berpedoman pada pepatah ini dalam meraih keberhasilan dan kesuksesan, insya Allah kesuksesan yang di maksud bukan kesuksesan dalam hal keduniawian saja, melainkan juga kesuksesan ukhrawi asalkan pepatah ini benar-benar di terapkan sesuai dengan yang di syariatkan. Pepatah ini menjadi kondang sejak munculnya sebuah novel bertajuk religi karya Ahmad Fuadi dengan judul Negeri Lima Menara, yang mana novel itu benar-benar membumikan pepatah ini sepanjang jalan ceritanya.

Bila dilihat dari masing-masing suku kata, kata Man berarti siapa, Jadda berarti bersungguh-sungguh, sementara Wajada berarti berhasil, maka bila di artikan secara keseluruhan, kata Man Jadda Wajada memiliki makna “barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil”. Dari pepatah ini kesungguhan menjadi kata kuncinya atau aspek pokok dalam meraih hajat atau impian seseorang, tanpa kesungguhan ini tentu harapan dan impian itu hanyalah bak kelebat angin yang lewat saja.

Nah, bagi sahabat yang menyimpan angan-angan, harapan dan mempunyai cita-cita setinggi langit namun tidak memiliki sesuatu yang mendukung untuk bisa meraihnya maka janganlah bersedih, jangan jadikan halangan-halangan itu sebagai alasan bagi sahabat untuk mengandalkan pesimis “ah nggak bakalan mungkin bisa”, “sainganku banyak yang lebih mampu dari aku, lebih pintar dari aku” buang jauh-jauh perasaan itu, karena sesungguhnya manusia tidak pernah tahu kepada siapa kelak keberhasilan itu akan memihak, bukankah keberhasilan dan kesuksesan tidak selalu jatuh kepada yang paling pintar dan mampu saja? Banyak kok orang-orang yang berpendidikan tinggi, bergelar sarjana, namun tidak bisa di katakan berhasil dalam hidupnya, karena dia tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang di dapatnya, tidak bisa mengaplikasikan gelar dan pendidikannya, bukan tidak mungkin karena tidak ada sedikitpun kesungguhan dari dalam hati seseorang itu.

Bilamana sahabat mempunyai cita-cita kuliah keluar negeri, ingin jadi dokter, dan sebagainya namun tidak cukup mampu dalam hal biaya dan materi, otak pas-pasan, itu bukanlah masalah karena setiap manusia di bekali dengan potensi yang bisa di kembangkan, selain itu setiap manusia juga di bekali akal yang mana akal itu kita gunakan untuk menerapkan kesungguhan dan keteguhan kita dalam mengembangkan potensi yang kita miliki itu. Namun dalam hal ini tergantung dari sahabat sendiri yang sanggup menjalankannya secara istiqamah ataukah tidak. Karena kesungguhan itu sendiri juga tidak akan berarti apa-apa jika tidak di sertai dengan keajegan atau konsisten dengan tujuannya.

Man Jadda Wajada sebuah pepatah Arab yang menjadi kompas perjalanan dalam mencapai impian, angan, dan cita-cita. Sebuah pepatah yang memiliki kekuatan yang sedemikian takjubnya hingga banyak orang-orang muslim percaya dan memegangnya sebagai prinsip dan pedoman, namun bila seseorang teguh benar menelaah secara mendalam pepatah ini. Maka tidaklah jadi prinsip dan pedoman saja, melainkan akan mendarah daging pada hati dan jiwa seseorang itu.

Pepatah ini begitu menjamur di berbagai lembaga keislaman terutama di kalangan pondok-pondok pesantren dan modern, hampir seluruh santri-santrinya di ajarkan untuk selalu berpedoman pada pepatah ini dalam meraih keberhasilan dan kesuksesan, insya Allah kesuksesan yang di maksud bukan kesuksesan dalam hal keduniawian saja, melainkan juga kesuksesan ukhrawi asalkan pepatah ini benar-benar di terapkan sesuai dengan yang di syariatkan. Pepatah ini menjadi kondang sejak munculnya sebuah novel bertajuk religi karya Ahmad Fuadi dengan judul Negeri Lima Menara, yang mana novel itu benar-benar membumikan pepatah ini sepanjang jalan ceritanya.

Bila dilihat dari masing-masing suku kata, kata Man berarti siapa, Jadda berarti bersungguh-sungguh, sementara Wajada berarti berhasil, maka bila di artikan secara keseluruhan, kata Man Jadda Wajada memiliki makna “barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil”. Dari pepatah ini kesungguhan menjadi kata kuncinya atau aspek pokok dalam meraih hajat atau impian seseorang, tanpa kesungguhan ini tentu harapan dan impian itu hanyalah bak kelebat angin yang lewat saja.

Nah, bagi sahabat yang menyimpan angan-angan, harapan dan mempunyai cita-cita setinggi langit namun tidak memiliki sesuatu yang mendukung untuk bisa meraihnya maka janganlah bersedih, jangan jadikan halangan-halangan itu sebagai alasan bagi sahabat untuk mengandalkan pesimis “ah nggak bakalan mungkin bisa”, “sainganku banyak yang lebih mampu dari aku, lebih pintar dari aku” buang jauh-jauh perasaan itu, karena sesungguhnya manusia tidak pernah tahu kepada siapa kelak keberhasilan itu akan memihak, bukankah keberhasilan dan kesuksesan tidak selalu jatuh kepada yang paling pintar dan mampu saja? Banyak kok orang-orang yang berpendidikan tinggi, bergelar sarjana, namun tidak bisa di katakan berhasil dalam hidupnya, karena dia tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang di dapatnya, tidak bisa mengaplikasikan gelar dan pendidikannya, bukan tidak mungkin karena tidak ada sedikitpun kesungguhan dari dalam hati seseorang itu.

Bilamana sahabat mempunyai cita-cita kuliah keluar negeri, ingin jadi dokter, dan sebagainya namun tidak cukup mampu dalam hal biaya dan materi, otak pas-pasan, itu bukanlah masalah karena setiap manusia di bekali dengan potensi yang bisa di kembangkan, selain itu setiap manusia juga di bekali akal yang mana akal itu kita gunakan untuk menerapkan kesungguhan dan keteguhan kita dalam mengembangkan potensi yang kita miliki itu. Namun dalam hal ini tergantung dari sahabat sendiri yang sanggup menjalankannya secara istiqamah ataukah tidak. Karena kesungguhan itu sendiri juga tidak akan berarti apa-apa jika tidak di sertai dengan keajegan atau konsisten dengan tujuannya.

Kesungguhan merupakan fondasi pokok dalam sebuah bangunan kuat nan kokoh, yang mana bangunan itu menggambarkan jalan atau jalur yang menuntun kita ke arah keberhasilan yang kita mau. Sampai atau tidaknya kita pada arah yang kita mau melalui jalan itu tergantung dari kuat atau tidaknya fondasi yang menopang jalan itu. Bila fondasinya saja setengah-setengah, tidak ada kemantapan atau keajegan maka jalan roboh, jatuhlah kita sewaktu perjalanan. Nah jatuhnya kita itulah yang menggambarkan sikap mudah menyerah, pesimis, dan putus asa kita.

Kesungguhan dalam hal ini juga tidak hanya di praktikkan dengan keuletan, ketekunan dan kerja keras saja melainkan juga doa. Berdoa dan yakinlah bahwasanya Allah sangatlah sanggup mengabulkan doa setiap hamba-hamba-Nya yang mau terus berdoa-dan berikhtiar. Nah coba tengok sabda Rasulullah berikut ini “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu, dan Maha Murah Hati, Allah malu bila ada hamba-Nya yang menengadahkan tangan (memohon) lalu di biarkannya kosong dan kecewa” (H.R. Al Hakim). Namun janganlah tergesa-gesa, bersabar sembari tetap jalankan kesungguhan itu secara istiqamah. Tidak akan ada hal menyenangkan yang bisa di raih seseorang dengan mudahnya tanpa proses dan halangan tertentu, melainkan pasti butuh usaha keras dan juga kesabaran. Dalam Shahih Muslim No. 4016, Abu Hurairah RA pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Akan di kabulkan doa seseorang di antara kamu sekalian selama dia tidak terburu-buru berkata aku sudah berdoa, tetapi aku tidak atau belum di kabulkan”.

Saya menyimpan sebuah kisah yang mana kisah itu di alami sendiri oleh sepupu saya. Dia seorang pelajar SMA yang teguh benar memegang prinsip Man Jadda Wajada,  dia memiliki sebuah impian besar untuk bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi impiannya, namun apa daya, dia lahir dalam keluarga tak berpunya, tidak bisa di katakan pas-pasan karena bahkan untuk makan sehari-harinya saja masih kurang, dia adalah satu-satunya anak dari keluarganya yang beruntung karena kakak-kakaknya yang tidak bisa merasakan bangku sekolah sampai SMA seperti dirinya, ia bisa sekolah sampai SMA berkat beasiswa tidak mampu. Melihat keadaan orang tua akhirnya mendorongnya untuk belajar lebih giat lagi karena satu-satunya peluang atau jalan yang memungkinkannya untuk bisa masuk perguruan tinggi itu adalah beasiswa prestasi. Hal itu membuatnya sering belajar sampai larut malam, tidak seperti teman-temannya pada umumnya, dia jadi sering  menolak ajakan teman untuk keluar rumah.

Selain itu ia juga aktif berorganisasi dan mengikuti  berbagai lomba hingga memungkinkannya mengoleksi banyak piagam dan penghargaan, barangkali dapat membantunya lolos masuk perguruan tinggi  impiannya nanti. Tidak lupa juga doa restu ibu karena bukan tidak mungkin doa yang paling mujarab adalah doanya. Tiap malam sudah ia sempatkan tahajud, puasa Senin kamis dan amalan-amalan lain. Tak henti-hentinya ia berdoa hingga membuatnya menjadi anak yang jauh lebih berprestasi dari sebelumnya. Pada akhirnya dia mampu masuk perguruan tinggi impiannya itu dengan beasiswa prestasi total  melalui jalur bidik misi. Tentu orang-orang yang dahulu meremehkannya, menanggapi  impiannya dengan senyum ejekan jadi tercengang.

Nah mampu atau tidaknya sahabat, berhasil  atau tidaknya sahabat bukan di lihat dari sisi kemampuan materi orang tua kita, bukan di lihat dari terbatasnya kemampuan kita, melainkan dari kesungguhan kita itu sendiri, melainkan  dari keteguhan hati kita itu sendiri, dan melainkan dari doa kita itu sendiri. Selain itu satu hal yang perlu sahabat garis bawahi, jangan niatkan kesungguhan sahabat itu demi urusan keduniawian saja, melainkan  niatkan segalanya semata-mata karena Allah. Karena barang siapa yang menghendaki ukhrawi,  maka dapatlah pula duniawinya.

Hak-Hak Pejabat

Pejabat Bisa Menjadi Pencuri Jika Melebihi Hak Hak seperti Ini

Di masa keemasan Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu pernah minta tambah gajinya sebagai khalifah. Ehm…..

Sebelum membahas hal ini, mari kita simak hadits Nabi shalallahu’alaihi wassallam yang resmi memberikan fasilitas bagi para pejabat publik:

“Siapa yang menjadi pejabat kami, maka milikilah istri jika belum punya istri. Jika belum punya pembantu, maka milikilah pembantu. Jika belum punya tempat/rumah, maka milikilah tempat/rumah. Abu Bakar berkata: Aku diberitahu bahwa Nabi bersabda, “Siapa yang mengambil selain itu maka dia adalah pencuri.” (HR. Abu Dawud no. 2945, dishahihkan oleh al-Albani)

Jadi, siapapun Anda sebagai pejabat publik, telah difasilitasi langsung oleh Nabi shalallahu’alaihi wassallam. Luar biasa bukan. Amanah besar seorang pejabat diiringi dengan fasilitas. Sah! Untuk mengambilnya. Halal! Untuk menikmatinya. Pasangan hidup, staf, tempat tinggal.

Nah, sekarang mari kita lihat kisah shahabat paling mulia itu minta tambahan gaji dengan posisinya sebagai orang nomer satu di pemerintahan Islam. Kisahnya ditulis oleh pakar sejarah Islam Prof. DR. Akram Dhiya’ al-‘Umari dalam bukunya: (‘Ashr al-Khilafah al-Rasyidah h. 228-230). Inilah kalimat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang memakai bahasa langsung dan jelas:

“Tambahi untukku (gajiku) karena aku punya keluarga. Kalian telah menyibukkan aku dari bisnisku.”

Akram Dhiya’ menyebutkan gaji awal Abu Bakar adalah 2000 Dirham setiap tahun. Kemudian setelah beliau meminta tambahan, ditambahi menjadi 2500 Dirham per tahun.

2000 Dirham adalah jumlah gaji yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Dan dengan tanpa malu dan basa-basi, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta tambahan. Dalam riwayat yang diambil oleh DR. Ali ash-Shalaby (Abu Bakar ash-Shiddiq, h. 109, MW), Abu Bakar berkata kepada Umar sebagai menteri keadilan/hukum,

“Aku tidak butuh dengan jabatanku memimpin kalian. Kalian memberiku gaji yang tidak cukup untukku dan keluargaku.”

Di samping gaji tersebut, masih ada fasilitas 1 kambing per hari plus sedikit lemak dan susu. Kambing digunakan untuk jamuan para tamu yang datang. Dan keluarga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berhak mendapatkan kepala dan kaki kambing tersebut.

Ternyata yang pernah minta tambahan gaji, bukan hanya Abu Bakar sang Khalifah. Para pejabatnya di daerah juga meminta tambahan gaji:

“Tambahilah gaji kami, kalau tidak angkatlah orang lain untuk jabatan ini!”

Untuk melengkapi cara pandang kita, ada hal yang harus diketahui lagi. Yaitu: masyarakat mendapatkan tunjangan tahunan. Inilah konsep Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat memimpin negara yang saat itu belum mempunyai banyak kekayaan negara:

“Sesungguhnya hidup ini, keteladanan lebih baik daripada mementingkan diri sendiri.”

Subhanallah…!

Besaran tunjangan di tahun pertama adalah 10 Dirham/tahun. Pada tahun kedua seiring masukan negara yang semakin besar maka masyarakat mendapatkan 20 Dirham/tahun. Tunjangan ini diperuntukkan bagi semua orang; laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, orang merdeka ataupun budak. Jadi, kalau di dalam rumah tangga kecil ada ayah, ibu dan 3 anak, maka keluarga itu akan mendapatkan 100 dirham/tahun. Para pejabat Abu Bakar pun menerapkan konsep ini di wilayah masing-masing.

Dengan konsep ini, maka gaji Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu 200 kali lipat dari tunjangan satu orang dari masyarakatnya. Perlu diingat ulang, 200 kali lipat dari tunjangan, bukan dari penghasilan masyarakat. Karena, tunjangan tersebut di luar penghasilan masyarakat. Jadi, perbandingannya adalah: Pejabat mendapat gaji ‘besar’ karena tidak bisa mencari nafkah, sementara masyarakat jauh lebih kecil karena sifatnya tambahan bagi tambahan nafkah mereka.

Melihat sebuah kisah dengan utuh seperti di atas sangat bermanfaat agar cara kita mengambil pelajaran tidak bopeng. Dari kalimat tersebut di atas dan dari proses jabatan yang diamanahkan kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berikut pejabatnya berikut tunjangan bagi masyarakatnya, kita bisa memandang permintaan tambahan gaji dengan sudut pandang berikut:

Mereka semua dipaksa menjadi pemimpin, bukan keinginan mereka apalagi ambisi dengan mengkampanyekan dirinya. Kalau saja mereka bisa memilih, maka mereka lebih memilih menjadi pengusaha umpamanya, seperti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Sehingga tidak ada yang membatasi keuangannya. Tetapi ketika telah memilih, maka seharusnya semua paham bahwa setiap pilihan ada resikonya.
Mereka terpaksa memberhentikan semua aktifitas mencari nafkah dan hanya mendapat gaji dari menjadi pejabat. Kalau yang mendapatkan banyak proyek justru setelah menjabat, nah….
Gaji yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan mereka dan keluarga. Jika gaji telah memenuhi atau bahkan tidak terpakai, bagaimana nih…
Masyarakat tetap nomer satu. Mendahulukan masyarakatnya, bukan dirinya. Dalam bahasa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu: menjadi teladan, bukan egois.
Jika itu di zaman Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka inilah Umar radhiyallahu ‘anhu sang Amirul Mukminin. Umar telah mengetahui fasilitas yang berasal langsung dari Nabi shalallahu’alaihi wassallam bagi para pejabat. Umar juga telah menyaksikan langsung bagaimana Abu Bakar meminta tambahan gajinya.

Umar radhiallahu ‘anhu menyampaikan konsep penggajian bagi dirinya sebagai pemimpin tertinggi:

“Saya memposisikan diri saya terhadap harta Allah (harta negara), seperti menghadapi harta anak yatim. Siapa yang kaya, maka hendaklah menjaga dirinya. Siapa yang miskin, maka boleh memakannya dengan cara baik.” (ashr al-Khilafah al-Rasyidah, h. 238)

Dan inilah detail yang diambil Umar dari negara h. 237-238:

“Saya menyampaikan kepada kalian semua, harta Allah yang saya ambil: pakaian di musim dingin dan musim panas, kendaraan yang saya pakai untuk haji dan umroh, konsumsi bagi keluarga saya seukuran masyarakat Quraisy; bukan yang kaya dan bukan yang miskin. Saya hanya seorang laki-laki dari masyarakat muslimin, apa yang menimpa mereka pun menimpa saya.”

Umar radhiallahu ‘anhu juga berani mempersaksikan dirinya di hadapan Allah subhanahu wata’ala:

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidak makan kecuali makanan saya, tidak memakai kecuali pakaian saya dan tidak mengambil kecuali bagian saya.”

Sementara untuk masyarakatnya, Umar melanjutkan konsep tunjangan Abu Bakar dengan beberapa perbaikan. Di antara perbaikan itu adalah jumlah besaran tunjangan yang diberikan, menjadi jauh lebih besar seiring dengan negara yang semakin kaya:

Tunjangan uang tahunan berdasarkan strata yang dibuat oleh Umar. Yang paling tinggi: 12.000 Dirham bagi istri Nabi yang masih hidup dan yang paling rendah adalah 100 Dirham bagi bayi yang baru lahir
Tunjangan barang, bisa berupa pakaian, makanan dan sebagainya
Hal menarik yang perlu dicatat dari sikap empati Umar radhiyallahu ‘anhu saat masyarakat sulit adalah pada peristiwa ‘am Ramadah (tahun kelaparan) yang menimpa Hijaz (Mekah dan Madinah, bukan seluruh negeri) di akhir 17H. Umar sebagai Khalifah tidak mau mengkonsumsi lemak dan His (makanan dari adonan kurma dicampur lemak dan lainnya) karena harganya mencapai 40 Dirham. Umar juga tidak mau meminum susu pada masa itu. Dan hanya mau mengkonsumsi minyak dan gandum saja. Sebagai upaya menghibur masyarakatnya.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Perut Umar bunyi (karena lapar) karena hanya makan minyak pada ‘am ramadhah, sementara dia tidak mau makan lemak. Maka dia menusuk perutnya dengan menggunakan jarinya dan berkata:

Tidak ada yang kami miliki selain ini, hingga manusia hidup kembali. (Tarikh al-Khulafa’ h. 116, MS)

Ibnu Sa’ad meriwayatkan kisah Aslam yang bercerita,

Pada ‘am ramadhah, ada unta disembelih. Maka Umar membagikannya bagi masyarakat. Mereka menyisihkan daging yang bagus dari punuk unta dan hati untuk Umar. Saat Umar melihat, dia bertanya: Dari mana ini? Mereka menjawab: Wahai Amirul Mukminin, itu dari unta yang hari ini kita sembelih. Umar berkata: Buruk sekali saya sebagai pemimpin jika saya makan daging yang bagus sementara saya memberi masyarakat yang tidak bagus. Angkat piring ini, berikan kami makanan selain ini!

Saat seperti itu empati sang pemimpin tertinggi, ternyata diikuti oleh para pejabat di bawahnya.

Dari Ibn as-Sa’idi berkata: aku diangkat Umar sebagai salah seorang pejabatnya mengurusi zakat. Ketika tugasku selesai, Umar memberiku upah. Aku pun berkata: Aku bekerja karena Allah. Umar menjawab: Aku pernah juga bekerja di masa Rasulullah dan beliau pun menggajiku. (HR. Abu Dawud no 1453, dishahihkan al-Albani)

Konsep penggajian pejabat para pemimpin di atas sangat menarik untuk menjadi inspirasi penggajian pejabat hari ini.

Jadi pak pemimpin, masih ada yang mau minta naik gaji?

Kisah Nabi Ya'kub di Akhir Hayatnya

Nabi Ya’qub As dan Detik-detik Terakhir Kematian


“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Q.S. Al-Baqarah (2): 133)

Tergeletak di atas tikar maut, Nabi Ya’kub As tetap memikirkan keselamatan aqidah putra-putranya. Mulutnya terbata-bata menanyakan kiblat aqidah mana yang akan diikuti putra-putranya sepeninggalnya.

“Sepeninggalku, ke arah mana wajah aqidah kalian hadapkan? Tuhan seperti apa yang kalian sembah?” Tanya Ya’kub As.

“Qiblat aqidah kami mengikuti nenek moyang; Ibrahim, Ismail dan Ishaq. Sembahan mereka itu juga sembahan kami,  Tuhan Yang Maha Esa.” Jawab mereka.

Nabi Ya’kub As tidak menanyakan label ketuhanan dari apa yang akan mereka sembah sepeninggalnya, tetapi dia menanyakan sifat-sifat seperti apa yang dimiliki tuhan yang kelak mereka sembah.

Yah, wajar jika Ya’kub As menanyakan itu. Setibanya di Mesir, dia melihat aneka ragam aqidah. Ada yang menyembah api, patung dan hewan-hewan. Wajah-wajah ketuhanan itu yang menyebabkan dirinya prihatin terhadap keselamatan aqidah putra-putranya.

Di Aqidah masyarakat Mesir yang semu dipertuhankan, diabadikan dan dianugerahi sifat-sifat ketuhanan yang kekal. Masyarakat sosial yang terpuruk seperti ini wajib mendapatkan perhatian penuh orang tua.

Orang tua yang baik wajib senantiasa memonitoring aqidah lingkungan masyarakat sekitar dan sejauh mana pengaruhnya terhadap anak. Bukankah tempat abadi orang tua di akhirat juga dipengaruhi oleh sejauh mana tanggung jawab didik orang tua terhadap anak? Bukankah ada orang tua yang sejengkal lagi kakinya akan melangkah masuk surga, tetapi ditarik oleh anak yang terjerumus ke neraka hanya karena orang tua ini melalaikan tanggung jawab didiknya terhada anak?

Ya’qub As menyadari ini sepenuhnya sehingga ia pun mewasiatkan aqidah ketauhidan di atas tikar mautnya untuk yang kesekian kalinya sebelum menutup mata dari pentas dunia.

Ya’qub di wasiat terakhirnya ini seperti mendapat dua buah merpati cantik sekali bidikan. Wasiat ini selain bukti nyata kepedulian Ya’qub as terhadap tugas kenabian yang wajib m

Mewariskan agama Islam yang bertauhid ke generasi-generasi Islam mendatang, ia pun dengan sendirinya menyucikan dirinya dari dusta dan kebohongan orang-orang Yahudi yang mengklaim (keyahudian; istilah penulis) Ya’kub dari mereka.

“Ya, Muhammad (penutup para nabi Allah)! Apakah Anda tidak tahu keyahudian Ya’kub? Apakah Anda lupa pesan keyahudian Ya’kub As yang terakhir kepada putra-putranya? Dia mewasiatkan aqidah Yahudi kepada mereka.” Ejek mereka.

“Wahai Muhammad! Ingatkan mereka dan ingatkan juga umatmu keislaman Ya’kub As dan putra-putranya. Yang diwasiatkan Ya’kub As bukanlah aqidah Yahudi, tetapi Aqidah ketauhidan murni seperti yang diwariskan nabi-nabi Islam sebelumnya, sepeti Ibrahim, Ismail dan Ishaq.” Jawab Alqur’an dengan lantang dan tegas.

Di samping itu, wasiat ketauhidan ini menegaskan keislaman para nabi Allah SWT yang mendunia kebenarannya. Dari ayat 131-133 Q.S Al-Baqarah kata Islam terulang 4 kali dengan variasi morfologi (perubahan makna yang mengikuti perubahan yang terjadi di kata dasar). Gaya bahasa seperti ini menegaskan hakikat kebenaran Islam sebagai agama yang diridhai Allah, tidak dibatasi waktu dan seperti cahaya yang setiap waktu siap memberi terang kepada siapa saja yang ingin menyinari diri dari kegelapan aqidah-aqidah yang tidak menuhankan Allah Yang Maha Esa.

Inilah kata-kata Islam yang digarisbawahi secara bervariasi dari koleksi ayat-ayat Q.S. Al-Baqarah sebagai salah satu bukti kemegahan Islam yang senantiasa memberi kecemerlangan hidup dari sudut pandang apa pun atau dengan kaca mata waktu apa saja Anda melihatnya:

            Keempat kosa kata Islam dengan variasi bentuk masing-masing menyangkal aqidah arab jahiliah yang mengakar dalam adab ketuhanan mereka. Setiap kabilah arab punya agama masing-masing yang terhitung benar dan hak oleh mereka sendiri. Mereka mengaku sebagai umat beragama seperti aqidah agama Ibrahim dan Ya’kub As, meskipun mereka juga tetap menyembah berhala. Yahudi dan Kristen pun mengaku sebagai umat beragama yang mengikuti aqidah nabi-nabi Bani Israil, meskipun praktek aqidah dan ibadah mereka tiap harinya jauh dari kemurnian aqidah ketuhanan nabi-nabi mereka sendiri.

Di akhir penggalan kisah Ya’kub As, saya mengajak para pedamba husnul khatimah untuk memetik hikmah kehidupan seperti yang dibiaskan pesan kematian ayat di atas:

“Ingat dan ingatkan keturunan Anda tauhid murni yang Mengesakan Allah Yang Tiada duanya. Di layar kehidupan Anda, Ya’qub As teladan yang baik. Meskipun keturunannya dari nabi-nabi Allah, tetapi dia tetap mengingat tanggung jawabnya sebagai orang tua yang wajib mewasiatkan aqidah yang bertauhid sepeninggalnya.

            Tanggungjawab, tetap tanggung jawab. Aqidah tauhid tetap aqidah tauhid. Jangan sepelekan tanggungjawab sebagai orang tua dan jangan pernah ingin melepaskan diri dari ikatan tauhid yang benar! Yang rugi, mereka yang menyepelekan tanggungjawab ketauhidan terhadap generasi umat mendatang.

            Tutuplah lembaran terakhir layar kaca kehidupan dunia Anda dengan meminta putra-putri Anda untuk mengikuti kiblat nabi-nabi Allah SWT yang mengesakan Allah SWT dalam aqidah tauhid yang benar! Ikuti mereka dan jangan pandang sebelah mata!”

Belajat Sejarah Melalui Surah Al-Fatihah

Perintah Belajar Sejarah dalam Surat Al-Fatihah
Adityanugroho – Minggu, 17 Mei 2015 12:10 WIB



Surat al-Fatihah, awal surat dalam al-Qur’an itu ternyata menyiratkan perintah untuk belajar sejarah. Mungkin banyak yang tidak sadar, walau setiap hari setiap muslim pasti mengucapkannya. Tidak sekali bahkan. Tetapi banyak yang tidak menyadari sebagaimana banyak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membaca, mengkaji, mendalami sejarah Islam.

Bermula dari doa seorang muslim setiap harinya:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. al-Fatihah [1] : 6)

Jalan lurus, yang oleh para mufassir ditafsirkan sebagai dienullah Islam itu, dengan gamblang digambarkan dengan ayat selanjutnya dalam al-Fatihah:

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Di sinilah perintah tersirat untuk belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat terakhir ini;

Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah
Kelompok yang dimurkai Allah
Kelompok yang sesat
Ketiga kelompok ini adalah generasi yang telah berlalu. Generasi di masa lalu yang telah mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.

Kelompok pertama, generasi yang merasakan nikmat Allah.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir 1/140, al-Maktabah al-Syamilah) menjelaskan bahwa kelompok ini dijelaskan lebih detail dalam Surat an-Nisa: 69-70,

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. an-Nisa [4] : 69-70)

“Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”

Ada kata penghubung yang sama antara ayat ini dengan ayat dalam al-Fatihah di atas. Yaitu kata (أنعم) yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat. Sehingga Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat dalam al-Fatihah tersebut dengan ayat ini.

Mereka adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para shalihin. Kesemua yang hadir dalam dalam doa kita, adalah mereka yang telah meninggal.

Ini adalah perintah tersirat pertama agar kita rajin melihat sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka. Agar kita bisa mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang hidup. Agar kemudian kita bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka merasakan.

Perjalanan hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah. Ukiran sejarah abadi mengenang, agar menjadi pelajaran bagi setiap pembacanya.

Kelompok kedua, mereka yang dimurkai Allah.

Imam Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 1/141, al-Maktabah al-Syamilah) kembali menjelaskan bahwa mereka yang mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Adapun kelompok yang dimurkai adalah kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal. Sehingga mereka dimurkai.

Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sejarah memang mencatat bahwa mereka yang menentang Nabi Muhammad SAW sekalipun, sesungguhnya tahu dengan yakin bahwa Muhammad SAW adalah Nabi yang dijanjikan dalam kitab suci mereka akan hadir di akhir zaman.

Sekali lagi, mereka bukanlah masyarakat yang tidak berilmu. Justru mereka telah mengantongi informasi ilmu yang bahkan belum terjadi dan dijamin valid. Informasi itu bersumber pada wahyu yang telah mereka ketahui dari para pemimpin agama mereka.

“Demi Allah, sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa dia adalah Rasul yang diutus. Dan dialah yang sesungguhnya yang kalian jumpai dalam kitab kalian….” kalimat ini bukanlah kalimat seorang shahabat yang sedang berdakwah di hadapan Yahudi. Tetapi ini adalah pernyataan Ka’ab bin Asad, pemimpin Yahudi Bani Quraidzah. Dia sedang membuka ruang dialog dengan masyarakatnya yang dikepung oleh 3.000 pasukan muslimin, untuk menentukan keputusan yang akan mereka ambil.

Maka benar, bahwa Yahudi telah memiliki ilmu yang matang, tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Inilah yang disebut oleh Surat al-Fatihah sebagai masyarakat yang dimurkai. Para ulama menjelaskan bahwa tidaklah kaum Bani Israil itu diberi nama Yahudi dalam al-Qur’an kecuali dikarenakan setelah menjadi masyarakat yang rusak.

Rangkaian doa kita setiap hari ini menyiratkan pentingnya belajar sejarah. Untuk bisa mengetahui detail bangsa dimurkai tersebut, bagaimana mereka, seperti apa kedurhakaan mereka, ilmu apa saja yang mereka ketahui dan mereka langgar sendiri, apa saja ulah mereka dalam menutup mata hati mereka sehingga mereka berbuat tidak sejalan dengan ilmu kebenaran yang ada dalam otak mereka. Sejarah mereka mengungkap semuanya.

Kelompok ketiga, mereka yang sesat.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa bagian dari penafsirannya adalah masyarakat Nasrani. Masyarakat ini disebut sesat karena mereka memang tidak mempunyai ilmu. Persis seperti orang yang hendak berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak mempunyai kejelasan ilmu tentang tempat yang dituju. Pasti dia akan tersesat jalan.

Kelompok ketiga ini kehilangan ilmu walaupun mereka masih beramal.

Masyarakat ini mengikuti para pemimpin agamanya tanpa ilmu. Menjadikan mereka perpanjangan lidah tuhan. Sehingga para pemimpin agamanya bisa berbuat semaunya, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.

Sebagaimana yang jelas tercantum dalam ayat:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah [9] : 31)

Kisah’ Adi bin Hatim berikut ini menjelaskan dan menguatkan ayat di atas,

Dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu anhu berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan di leherku ada salib terbuat dari emas, aku kemudian mendengar beliau membaca ayat: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.Aku menyatakan: Ya Rasulullah sebenarnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu.Nabi menjawab: Benar. Tetapi para rahib itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka itulah peribadatan kepada para rahib itu. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dihasankan oleh Syekh al-Albani)

Bagaimanakah mereka masyarakat nasrani menjalani kehidupan beragama mereka? Bagaimanakah mereka menjadikan pemimpin agama mereka menjadi perwakilan tuhan dalam arti boleh membuat syariat sendiri? Di manakah kesesatan mereka dan apa efeknya bagi umat Islam dan petadaban dunia?

Semuanya dicatat oleh sejarah.

Inilah doa yang selama ini kita mohonkan dalam jumlah yang paling sering dalam keseharian kita.

Al-Fatihah yang merupakan surat pertama. Bahkan surat pertama yang biasanya dihapal terlebih dahulu oleh masyarakat ini. Surat utama yang paling sering kita baca. Surat yang mengandung doa yang paling sering kita panjatkan.

Siratan perintah untuk belajar sejarah sangat kuat terlihat. Maka sangat penting kita memperhatikan kandungan surat yang paling akrab dengan kita ini.

Agar terbukti dengan baik dan benar doa kita;

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [1] : 6-7)