loading...

Friday 21 October 2016

ETIKA ISTERI BICARA DENGAN SUAMI

Pasang surut hubungan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga merupakan sesuatu yang wajar. Pertengkaran antara dua pasangan menjadi bumbu penyedap rumah tangga.

Hanya, ada kalanya kaum ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga melampiaskan kekesalan kepada suaminya. Tanpa sadar, sang istri pun membentak suami dengan suara yang tinggi. Bagaimana sebenarnya etika istri untuk berbicara kepada suaminya?

Mengumpat suami atau sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas'ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.

Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang neraka yang kebanyakan dipenuhi para perempuan. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan penyebab populasi perempuan yang banyak di neraka. "Karena mereka tidak mau mengakui kebaikan suaminya dan tidak bersyukur kepada suaminya, tidak berterima kasih dengan apa yang telah suami berikan, dan karena kesalahan sepele suami lalu istri berkata, 'Tidak pernah aku dapat kebaikan apa pun darimu'."

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, "pembangkangan" merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.

Bila tampak tanda-tanda pembangkangan dari seorang istri, seperti berakhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih pisah ranjang.

Meski demikian, suami tidak boleh mendiamkan istrinya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari." Hanya, bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia tidak boleh memukul wajah karena larangan Rasulullah SAW terhadap pemukulan anggota tubuh yang vital sehingga berdampak bahaya yang luar biasa.

Karena itu, istri harus menghormati posisi suami dalam hidup berumah tangga. Sejumlah keutamaan yang dimiliki suami dan istri mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah ridha Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami menjadi sebuah keutamaan yang disabdakan Rasulullah SAW. Seandainya, kata Rasulullah SAW di sabdanya yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk bersujud di hadapannya, maka niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut bersimpuh.

Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada gesekan antarkeduanya harus diselesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan kata kasar. Meski demikian, menurut Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai pendamping. Misal, bila suami suka bermaksiat misalnya. "Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS al-Baqarah [2]: 194). Tetapi, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.

Kekerasan fisik ataupun nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan bukan cara yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga. Sikap saling terbuka, hormat-menghormati, dan tetap menjaga etika dibutuhkan kala menghadapi persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.

Maka, sudah selayaknya seorang istri mengingat kembali sebuah hadis Rasulullah SAW tentang kriteria perempuan salehah. "Ingatlah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu simpanan yang paling baik bagi seseorang? Yaitu wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka dia membuatnya senang, jika suami menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suami tidak ada di sisinya maka dia menjaganya "(HR Abu Dawud).

Sebaliknya, suami pun berkewajiban bersabar saat menjalin hubungan dalam rumah tangga. Allah SWT berpesan kepada para suami lewat surah an-Nisaa' ayat 19, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."  

Thursday 20 October 2016

8 SUNAH HARIAN NABI MUHAMMAD SAW

Setiap manusia seharusnya mengetahui bahwa Allah SWT telah menyeru agar beribadah dan beramal saleh sebaik dan sebanyak mungkin. Agar kita menjadi pribadi yang bertakwa, setidaknya sunah harian Nabi SAW yang bisa kita contoh dan amalkan dalam keseharian antara lain, pertama, zikir pagi dan sore.

Allah SWT berfirman, ''Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.'' (QS al-Araf: 205).

Kedua, merutinkan shalat Dhuha. Nabi SAW bersabda, ''Pada pagi hari setiap persendian kalian diwajibkan sedekah, setiap ucapan tasbih itu bernilai satu sedekah, setiap kalimat tahmid itu bernilai satu sedekah, satu ucapan tahlil bernilai satu sedekah, satu ucapan takbir bernilai satu sedekah. memerintah yang makruf satu sedekah, mencegah yang mungkar satu sedekah. Dan semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Ketiga, shalat berjamaah tepat waktu. Saking pentingnya shalat berjamaah tepat waktu ini, sampai-sampai Nabi SAW bersabda, ''Kalau saja manusia tahu pahala panggilan shalat dan shaf awal, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus dengan mengundi, pasti mereka akan mengundi.'' (HR Muslim).

Keempat, menjaga shalat rawatib. Dalam sebuah hadis disebutkan, ''Tidaklah seorang hamba melakukan shalat sunah dengan ikhlas lillahitaala setiap hari sebanyak 12 rakaat melainkan pasti Allah akan membangunkan rumah di surga.'' (HR Muslim).

Kelima, membaca Alquran. Membaca Alquran adalah zikir terbaik yang akan mendatangkan banyak kebaikan bagi yang membacanya. Nabi SAW bersabda, ''Bacalah Alquran karena sesungguhnya Alquran akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya (orang yang rajin membacanya).'' (HR Muslim).

Keenam, selalu berusaha dalam kondisi yang suci. Tentang senantiasa suci ini, Nabi SAW pernah bersabda, ''Siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kesalahan-kesalahannya akan keluar dari jasadnya, bahkan sampai keluar dari ujung-ujung kukunya.'' (HR Muslim).

Ketujuh, sedekah harian. ''Pernah suatu ketika, seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, Wahai Nabi, sedekah apa yang paling utama? Nabi SAW menjawab, Bersedekahlah saat kau dalam kondisi sehat, kikir, takut miskin, dan sedang berharap menjadi kaya, tidak menunda sampai nyawa di tenggorokan baru kau berkata, Aku sedekahkan ini untuk si fulan segini, padahal itu sudah menjadi bagian si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari).

Kedelapan, istighfar minimal 100 kali. Tentang meminta ampun ini, Nabi SAW bersabda, ''Demi Allah, aku selalu beristighfar dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.'' (HR Muslim).

Nabi yang sudah maksum saja masih memohon ampun kepada Allah, lalu bagaimana dengan kita yang selalu berkubang dalam maksiat? Semoga kita bisa mengamalkan sunah-sunah harian Nabi SAW tersebut.

KEUTAMAAN MENGAJAR

Hasil gambar untuk gambar guru islami

Mengajar adalah bagian penting dari proses pendidikan. Saking pentingnya mengajar (menyebarkan ilmu), Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat kelak Allah SWT akan mengekangnya dengan kekang api neraka.” (HR Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).

Sebaliknya, beruntunglah bagi para guru yang gemar mengajarkan ilmu kepada para muridnya. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala dari orang-orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang mengerjakannya itu.” (HR Ibnu Majah).

Siapa sosok pengajar yang patut diteladani? Muhammad Rasulullah SAW. Beliau menyatakan sendiri dalam sabdanya: “Sungguh aku telah diutus (oleh Allah SWT) sebagai seorang pengajar.” (HR Ibnu Majah).

Ada beberapa inspirasi yang bisa guru pelajari dari potret pengajaran Rasulullah SAW. Pertama, Rasulullah SAW adalah pribadi pengajar yang punya sifat kasih sayang, menjauhi kesulitan, menyukai kemudahan, senantiasa berbuat baik dan mencurahkan kebaikan kepada orang lain (QS at-Taubah: 128).

Kedua, pengajar hendaknya memiliki kemampuan berbicara yang jelas dan tak tergesa-gesa. Imam Tirmidzi dalam Kitab Asy-Syamail meriwayatkan, dari Aisyah RA bahwasanya ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah berkata dengan tergesa-gesa sebagaimana yang biasa kalian lakukan. Akan tetapi, beliau berkata dengan ucapan yang sangat jelas dan terperinci, sehingga orang lain yang duduk bersamanya akan dapat menghafal setiap perkataan beliau.” (HR Imam Tirmidzi).

Ketiga, setiap murid bisa belajar memahami suatu ilmu tetapi tidak di waktu yang sama. Oleh karena itu, guru harus sabar untuk mau mengulangi penjelasan yang sama kepada beberapa murid yang terlambat memahami.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas RA bahwasanya dia berkata: “Rasulullah sering mengulang-ulang perkataan beliau sebanyak tiga kali; hal itu dimaksudkan agar setiap perkataan yang beliau paparkan dapat dipahami.” (HR Imam Tirmidzi).

Keempat, ajarkan ilmu sesuai dengan kondisi pengetahuan para murid dan apa yang mereka sukai. Rasulullah SAW bersabda: “Katakanlah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, serta tinggalkanlah apa yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka sukai. Apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Bukhari).

Kelima, gunakan metode mengajar yang bervariasi sesuai tingkatan kecerdasan murid. Karena hakikatnya setiap murid bisa belajar tetapi tidak dengan cara yang sama.

Aisyah RA menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Kami khususnya, para nabi, diperintahkan untuk menempatkan orang sesuai dengan tingkatan mereka. Dan supaya kami menyampaikan kepada mereka menurut tingkatan pengertian (kecerdasannya).” (HR Abu Dawud).

Mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia. Bahkan, Imam al-Ghazali mengumpamakan guru pengajar ibarat matahari sebagai sumber kehidupan dan penerangan di langit dan di bumi. Dengan ilmunya, seorang guru pengajar dapat memberikan penerangan kepada umat sehingga mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajari manusia.” (HR Tirmidzi). Masya Allah. Wallahu a'lam bishawab.

JABATAN

Jabatan kerap kali menggoda manusia untuk mendapatkannya dengan cara apa pun, bahkan dengan menghalalkan segala cara.

Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan (dalam pemerintahan). Jika engkau diberi jabatan tanpa meminta, engkau akan dibantu Allah untuk melaksanakannya. Tetapi, jika jabatan itu engkau dapatkan karena engkau memintanya, maka engkau sendiri yang akan memikul beban pelaksanaannya (tanpa dibantu Allah).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW mengingatkan siapa pun untuk tidak meminta jabatan jika tidak memiliki keahlian atau kompetensi di bidangnya. Apalagi, orang yang rupanya meminta jabatan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, seperti untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan umum.

Seperti dikatakan pada hadis tadi, orang yang meminta jabatan tanpa keahlian dan kompetensi tidak akan dibantu oleh Allah SWT dalam menjalani tanggung jawab jabatannya. Dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang meminta jabatan karena keahlian dan kompetensinya, lalu melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan mendapatkan surga di akhirat.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.” (HR Abu Dawud).

Adapun orang yang diberi jabatan tanpa meminta, akan dibantu oleh Allah SWT. Ia diberi atau mendapatkan jabatan semata karena kepercayaan akan keahlian dan kompetensinya, bukan karena kedekatan (nepotisme). Ia dipilih karena prestasi dan rekam jejaknya yang baik. Dengan kata lain, ia adalah orang berkualitas yang diakui dan diketahui banyak orang.

Orang-orang semacam ini akan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan menciptakan kerusakan dan kekacauan yang berujung pada masalah hukum. Nabi Yusuf adalah contoh terbaik untuk hal ini. Raja Mesir kala itu mengangkatnya sebagai pejabat tinggi di kerajaannya, karena ia percaya akan keahlian dan kompetensi Yusuf.

Setelah mendapat kepercayaan itu, Yusuf pun meminta jabatan bendahara kerajaan, karena ia bisa menjaga kas kerajaan dan memiliki pengetahuan tentang manajemen keuangan. Allah SWT pun membantu Yusuf dalam menjalani jabatannya, dan terbukti beliau sukses membawa kerajaan Mesir dan masyarakatnya melewati krisis ekonomi karena musim kemarau yang begitu panjang kala itu.

Allah SWT menyebutkan kisah Yusuf itu dalam Alquran, “Dan raja berkata, ‘Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.’ Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.’ Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’ Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf [12]: 54-56).

Jabatan adalah sesuatu yang berat, karena itu perlu dipikul oleh orang-orang yang ahli dan kompeten di bidangnya, bukan oleh orang yang sekadar mengejar jabatan dengan cara memintanya hanya demi memperkaya diri sendiri ketika jabatan itu sudah didapatkan nantinya. Jabatan mesti diberikan kepada orang-orang yang tepat. Wallahu a’lam.

Monday 5 September 2016

Khulafaur Rasyidin Teladan Bagi Para Pemimpin



Sehari sesudah Abu Bakar as-Shiddiq dilantik menjadi seorang khalifah untuk memimpin kaum Muslimin, esok paginya ia pergi ke pasar Madinah untuk berjualan. Ia tetap seperti biasanya menjalani profesinya sebagai saudagar.

Beberapa sahabat lain pun protes kepada beliau. "Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berjualan di pasar, lantas siapa yang akan mengurusi kami?" tanya salah seorang sahabat.

Abu Bakar juga membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan. "Jika saya tidak berdagang, lantas bagaimana saya menghidupi keluarga saya?" ujar beliau.

Akhirnya, para sahabat senior kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu. Gaji yang diberikan hanya sebatas untuk bisa menghidupi Abu Bakar dan keluarganya. Setelah itu, Abu Bakar tidak lagi berjualan di pasar dan mengurusi negara hingga dua tahun berikutnya ia dipanggil menghadap Allah SWT. Demikian seperti dikisahkan dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.

Begitulah kepemimpinan yang dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah itu. Ia mengajarkan, kekuasaan dan jabatan bukanlah media untuk mencari kekayaan. Amanah yang terpikul di pundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya semata-mata untuk menjalankan amanah.

Hal yang sama juga dicontohkan oleh khalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Sudah menjadi tradisi ketika itu untuk membagikan pakaian kepada dua golongan dari umat Islam. Golongan itu adalah assabiqunal awwalun (orang yang pertama-tama masuk Islam), dan ahlun nabi (karib kerabat Nabi Muhammad SAW).

Kendati ia seorang Khalifah, Umar bin Khattab tak mendapatkan jatah pakaian tersebut. Karena ia memang tidak termasuk dari salah satu golongan itu. Ia bukan orang yang pertama masuk Islam, dan juga bukan berasal dari kerabat Rasulullah.

Hingga ketika ada pembagian jatah pakaian untuk seluruh kaum Muslimin, Umar bin Khattab mendapat jatah satu stel pakaian. Namun ketika itu, ia diprotes salah seorang sahabat. "Wahai Amirul Mukminin, masing-masing kami mendapatkan jatah pakaian satu. Lalu mengapa engkau mendapatkan dua?" protes salah seorang sahabat tersebut di hadapan sebuah mejelis.

Menjawab pertanyaan itu, putra beliau Abdullah bin Umar bin Khattab pun berdiri. "Hadirin sekalian. Badan bapak saya ini (Umar bin Khattab) seperti kita ketahui sangatlah besar. Jadi, jatah satu pakaian itu tidak muat di tubuh beliau. Tapi kendati demikian, beliau tidak mengambil dua buah. Jatah sayalah yang saya berikan kepadanya," papar Abdullah.

Jelaslah, menjadi pejabat negara bagi Umar bin Khattab bukanlah wadah untuk mengumpulkan kekayaan. Tidak ada istilah korupsi bagi Umar bin Khattab, kendati hanya sehelai pakaian. Tidak ada istilah nepotisme kendati beliau adalah seorang presiden umat Islam ketika itu.

Banyak kisah mengharukan yang dicontohkan Umar bin Khattab. Ketika beliau didatangi anaknya di kantornya, ia pun mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu api kecil miliknya. Alasan Umar, kedatangan anaknya bukan dalam urusan negara. Jadi, tidak pantas untuk memakai lampu negara. Kendati ia seorang presiden, Abdullah bin Umar, putranya memiliki 16 buah tambalan di bajunya. Kendati ia seorang kepala negara, ia pernah hampir terlambat datang waktu shalat jumat karena menunggu baju satu-satunya kering dijemur.

Tak ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terlihat ketika masa kampanye saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian miliar dana yang digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye. Orientasi menjadi caleg sebagai alat untuk memperkaya diri. Sungguh sudah sangat jauh dari apa yang dicontohkan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab.

Rasulullah dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak baginya.” (HR Ahmad).

Apakah tidak ada lagi yang takut pada api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana memakan harta haram? Tidakkah cukup kekayaan yang sudah diberikan Allah, sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang haram? Tentu mereka ini tak akan mencium surga Allah di akhirat kelak.

Sunday 4 September 2016

Lari Kepada ALLAH SWT


Sebagai Mukmin kita meyakini bahwa Allah itu Maha Kuasa atas diri kita dan meyakini bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri dan menyelamatkan diri kecuali hanya kepada-Nya.

Karenanya, lari kepada Allah merupakan bagian penting yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Sebab, tidaklah logis jika kita lari kepada pihak yang tidak bisa memberikan perlindungan, bergantung kepada pihak yang tidak mempunyai kekuasaan, dan menyerahkan diri kepada pihak yang tidak mempunyai daya dan upaya.

Lari kepada Allah SWT merupakan bentuk kesadaran dan keyakinan diri bahwa kita tidak akan mampu menghadapi gempuran kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah ini, dan tidak akan mampu menghadapi serangan setan dan sekutunya, kecuali atas pertolongan dan perlindungan Allah SWT. Itulah yang membuatnya lari kepada Allah SWT.

Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kita untuk bersegera lari kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya, Maka segeralah berlari kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (QS adz-Dzariyat [51]: 50). Banyak hikmah dan mafaat yang dapat diraih bila kita lari kepada Allah SWT. Di antara hikmah dan manfaat yang paling besar adalah mendapat pertolongan dan perlindungan-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, Barang siapa yang memusuhi kekasih (wali)-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling Aku sukai yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku adalah amalan yang Aku wajibkan kepadanya. Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya.

Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya. (HR Bukhari).

Hal ini didapatkan oleh orang yang lari kepada Allah SWT, karena orang yang lari kepada-Nya akan melaksanakan berbagai kewajiban dan menyuburkan hal-hal sunah yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Oleh karena itu, manifestasi dari lari kepada Allah SWT diwujudkan dengan melaksanakan dan berpegang teguh kepada Alquran dan sunah. Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan tersesat selamanya selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. (HR Malik).

Bertawakal hanya kepada Allah SWT. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS al-Maidah [5]: 23).  Selain itu, direalisasikan hanya bermohon dan berdoa kepada-Nya. (Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah). (QS al-An'am [6]: 41).

Untuk itu, mumpung masih ada kesempatan mari kita sesegera mungkin untuk berlari menghadap Allah SWT, menyerahkan seluruh persoalan kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya sebelum kesempatan itu hilang karena ajal telah lebih dahulu datang. Wallahu a'lam bisshawab.

Monday 29 August 2016

Fakta di Balik Hilangnya Tujuh Kata Dalam Piagam Jakarta

Untuk membuat artikel ini, saya terlebih dahulu mendatangi sebuah gedung di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Karena di gedung yang dibangun pada awal abad ke-20 inilah, tempat bersidangnya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada masa kolonial Belanda gedung yang hingga kini masih tampak antik dan anggun itu, bernama Gedung Volksraad. Tempat para 'wakil rakyat' yang diangkat oleh pemerintah jajahan mengadakan sidang-sidang.

Sampai awal 1970'an gedung ini masih ditempati Departemen Kehakiman. Kemudian dijadikan sebagai gedung BP-7 yang sejak reformasi dibubarkan.

Gedung yang terletak bersebelahan dengan Deplu, dahulunya bersama-sama dengan gedung di kawasan Pejambon lainnya merupakan tanah pertanian milik Anthony Chastelin, yang juga memiliki tanah serupa di Depok. Bahkan, anggota Dewan VOC yang kaya raya inilah yang membangun Depok, ketika ia menghibahkan tanah miliknya itu kepada ratusan budak dengan syarat mereka harus mengubah agamanya menjadi Kristen Protestan.

Ketika 55 tahun lalu PPKI di bawah pimpinan Bung Karno bersidang di sini, di sekitarnya masih terdapat sebuah taman yang dikenal dengan sebutan Hertogpark atau Taman Bangsawan. Menunjukkan tempat ini sejak lama merupakan daerah elite. Di gedung inilah pada 22 Juni 1945 lahir Piagam Jakarta. Tanggal tersebut tiap tahun diperingati dengan meriah oleh warga Jakarta.

Tapi, bukan untuk memperingati lahirnya Piagam Jakarta, melainkan HUT Kota Jakarta. Karena pada 22 Juni 1527, Fatahillah, seorang pejuang dan mubaligh yang diutus oleh Sultan Demak, berhasil menaklukkan armada-armada Portugis di Sunda Kelapa.

Sedangkan lahirnya Piagam Jakarta, sejauh ini baru diperingati satu kali, yakni pada 1963. Dalam pidatonya Menhankam/KSAB Jenderal Nasution mengungkapkan waktu itu ada 52 ribu pucuk surat dari ulama dan tokoh Islam seluruh Indonesia yang isinya berupa saran tentang dasar-dasar negara yang mesti diperjuangkan. (KH Firdaus AN: Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru).

Membentuk Dasar Negara

Untuk lebih memperjelas tulisan ini, sebaiknya kita kembali dulu pada saat-saat menjelang bertekuk lututnya balatentara Dai Nippon dari sekutu. Sebelum bom atom dijatuhkan ke Hiroshima (6-8-1945) dan Nagasaki (9-8-1945), di Jakarta para pemimpin bangsa telah bersiap-siap untuk menyongsong kemerdekaan. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang, diketuai Dr Radjiman Wediodiningrat.

Dalam salah satu pidato pembukaannya pada 29 Mei 1945, Dr Radjiman dalam pidato singkatnya bertanya kepada para anggota: "Negara yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?" Sejak saat itu terdapat dua kubu yang berbeda tajam. Yakni, kubu Islam yang menghendaki dibentuknya Negara Islam dan kubu nasionalis yang menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.

Sidang yang berlangsung pada 1 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi antara kedua kubu yang saling berlawanan itu. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam, Dr Radjiman membentuk panitia kecil yang terdiri dari semua aliran. Panitia kecil ini kemudian menunjuk sembilan orang yang akan merumuskan pidato Bung Karno itu sebagai kompromi antara kedua kubu yang bertentangan.

Rumusan kompromi ini mereka namakan Piagam Jakarta yang kita kenal sekarang ini. Piagam Jakarta ini ditandatangani sembilan orang. Mereka mencerminkan aliran-aliran Islam, Nasionalis dan Kristen.

Sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta merupakan para tokoh masyarakat terkemuka waktu itu. Mereka adalah Ir Soekarno, Drs Muhammad Hatta, Mr AA Maramis (tokoh Kristen waktu itu), Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Moezakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur dan putra pendiri NU KH Hasyim Ashari), dan Mr Muhammad Yamin.

Yang menyebabkan kubu Islam mengendurkan tuntutannya atas negara Islam adalah kalimat-kalimat dalam alinea empat pada pembukaan UUD 45 yang berbunyi: ".....dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Sejumlah ahli hukum dan intelektual waktu itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Piagam Jakarta ini. Prof Dr Soepomo menyatakan, Piagam Jakarta merupakan "Perjanjian Luhur". Dr Sukiman menyebutnya "Gentlemen Agreement" dan Mr Muhammad Yamin menamakan "Jakarta Charter". Sedangkan Prof Dr Drs Notonagoro SH menjulukinya: "Suatu perjanjian moril yang sangat luhur".

Sayangnya, Piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari saja. Karena, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (18 Agustus 45), piagam ini dicoret oleh mereka yang kurang menghayati isi dan makna perjanjian itu. (KH Firdaus AN: Dosa-dosa Politik Orla dan Orba).

Indonesia Timur Ancam Memisahkan diri dari NKRI

Peristiwanya dimulai ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, belum genap 12 jam proklamasi dikumandangkan, datang telepon dari seorang Jepang, pembantu Laksamana Maeda yang ingin menemui Bung Hatta. Ternyata orang Jepang ini menyampaikan pesan seorang Nasrani dari Indonesia Timur.

Tokoh Nasrani itu keberatan dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kalau kata-kata ini masih tercantum kaum Nasrani di Indonesia bagian Timur akan keluar dari RI. Padahal, esok harinya akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk memilih presiden dan wakil presiden dan mensahkan UUD yang rampung disusun BPUPKI.

Sampai 1984 masih misterius dan tidak ada satu buku pun di Indonesia yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum (melalui Jepang) itu. Barulah setelah Cornell University di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia disebutkan bahwa tokoh itu ialah Dr Sam Ratulangi.

Kasman Singodimedjo, dalam memoarnya menyambut 75 tahun usianya menyatakan: "Ia yang baru diangkat sebagai anggota PPKI mendapat panggilan dari Bung Karno selaku ketuanya agar hadir di pertemuan tersebut."

"Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramainya diadakan lobbying di antara anggota-anggota panitia. Dan tidaklah sulit bagi saya untuk segera mengetahui apakah yang sedang jadi persoalan serius itu."

Kubu Islam Kalah karena Terjepit

Menurut tokoh Masyumi yang pernah ditahan di masa pemerintahan Bung Karno, pengusul yang menginginkan agar tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta dihilangkan adalah mereka yang mengambil kesempatan dari keadaan psikologis waktu itu. Karena baru sehari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, maka diperlukan kekompakan dan persatupaduan dari seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Apalagi, waktu itu dikhawatirkan kita akan menghadapi tentara Sekutu di mana Belanda merupakan anggotanya. Sementara balatentara Jepang masih berkeliaran di mana-mana dengan senjata lengkap.

Sekalipun demikian, menurut Kasman, pihak Islam tidak mau begitu saja usul dari non-Muslim. Bung Karno sendiri saat-saat lobby sengaja tidak mau ikut bahkan menjauhkan diri dari ketegangan dan kesengitan. Mungkin karena beliau sebagai ketua panitia dan terutama sebagai peserta panitia sembilan merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya. Karenanya, ia hanya mengirimkan putra Aceh, Tengku
Muhammad Hasan ke gelanggang lobby.

"Saya pun di dalam lobbying itu ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara keseluruhan tanpa pencoretan tujuh kata. Tapi, saya pun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan adanya situasi darurat dan terjepit sekali," kata Kasman Singodimedjo.

Menurut Kasman, "Jepitan itulah yang membuat kelompok Islam tidak dapat ngotot. Meskipun begitu Ki Bagus dkk dibantu terutama oleh amandemen Bung Hatta masih berusaha juga di dalam lobbying. Dan akhirnya berhasil juga dalam sidang formal PPKI dengan pencoretan 7 kalimat itu minus "ke-Tuhanan", yang diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."

Ki Bagus Hadikusumo

Ada yang mempertanyakan kenapa ketika itu kaum Nasionalis menggarap Ki Bagus Hadikusumo, padahal ia bukan penandatangan Piagam Jakarta. Menurut Firdaus AN, karena ia seorang moderat. Tidak seberat tokoh-tokoh lainnya seperti H Agus Salim, Abikusno, A Kahar Muzakar dan Mohammad Yamin.

Akan tetapi, menurut Kasman, Ki Bagus yang ketika itu menjawab sebagai ketua umum PP Muhammadiyah sebenarnya ingin mempertahankan Piagam Jakarta. Tapi, tokoh ini baru mau melepas keinginannya itu, setelah oleh Kasman dijelaskan mengenai situasi negara waktu itu --yang memerlukan kesatuan dan persatuan bangsa.

Tapi, Firdaus AN, yang sejak mudanya pernah duduk dalam pimpinan berbagai ormas Islam seperti PII, GPII dan PSII, mempertanyakan apakah kesediaan tokoh-tokoh Islam dalam pencoretan Piagam Jakarta menunjukkan toleransi atau kapitulasi. Yang jelas, menurutnya hal itu punya dampak luas bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Seperti timbulnya pemberontakan di daerah-daerah. Dimulai dengan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat (7 Agustus 1949), Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1952), Daud Beureuh di Aceh (1953), dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan (1953).

Friday 19 August 2016

Teladan Dari Seorang Bapak Proklamator RI

Teladan sejati, Wapres Mohammad Hatta dulu berhaji pakai biaya sendiriHatta tak minta fasilitas negara.


Menjadi Wakil Presiden pertama Indonesia, ternyata Mohammad Hatta memiliki kisah sendiri yang sepatutnya dicontoh oleh para pemimpin Indonesia saat ini. Sebagai orang nomor dua di Indonesia tentu banyak fasilitas melekat padanya dan bisa dimanfaatkan. Namun hal ini tidak dilakukan oleh Hatta.

Dilansir brilio.net dari Antara, Selasa (16/8), pada 16 Agustus 1952 pemerintah Indonesia mengeluarkan izin kepada Hatta untuk menunaikan ibadah Haji dan akan berangkat pada 20 Agustus 1952.

Saat itu kepergian Hatta berhaji memang menjadi keinginannya sendiri dan semuanya dilakukan dengan biaya sendiri tanpa meminta fasilitas negara.

Namun karena kedudukannya sebagai wakil presiden, pemerintah Indonesia saat itu tetap menunjuk beberapa pengawal yang akan mengiringi Hatta saat beribadah.


Walaupun begitu Sekretariat Dewan Menteri menegaskan bahwa kunjungan tersebut  sama sekali tidak mempunyai sifat politis.

Sunday 26 June 2016

Ini Kedahsyatan Membaca Surah Yasin

Surat Yasin banyak menjelaskan tentang akidah dan keimanan seorang muslim. Keutamaan surat ini adalah ampunan yang diberikan Allah SWT bagi orang yang senantiasa membacanya untuk mendapatkan ridha Allah. Rasulullah SAW bersabda,

"Barang siapa membaca surat Yasin setiap malam karena Allah SWT, maka dosanya diampuni". (HR Ahmad).

Di dalam buku Kedahsyatan Membaca Alquran, karya Amirulloh Syarbini, apabila seseorang membaca surat Yasin untuk menghadapi permasalahan yang sangat sulit, maka Allah akan memberi kelancaran padanya.

Jika surat Yasin dibacakan pada orang yang akan meninggal dunia (sakaratul maut), dapat mempermudahkan keluarnya roh dari orang yang mengalami sakaratul maut. Dan bila dibacakan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka dia akan mengundang rahmat dari Allah dan berkah dari-Nya.

Surat Yasin diturunkan di kota Makkah sesudah diturunkannya surat Jin. Surat Yasin merupakan jantungnya Alquran. Rasulullah SAW bersabda

"Jantung Alquran itu ialah surat Yasin. Tidaklah dibaca akan dia oleh seseorang yang menghendaki keridhaan Allah dan keselamatan di hari akhirat, melainkan Allah mengampuni akan dosanya" (HR Abu Daud).

Selain itu, surat Yasin diyakini mengandung banyak keutamaan, seperti sabda Rasulullah SAW, "Setiap sesuatu mempunyai hati. Adapun hari Alquran adalah Yasin. Maka barang siapa yang membaca Yasin, maka Allah menulis baginya (pahala) membaca Alquran 10 kali, selain Yasin". (HR Tirmidzi).

Pada buku Tafsir Surat Yasin, karya Syaikh Khamami Zadah, surat Yasin termasuk surat Makiyah, sebab turunnya surat ini orang-orang kafir berkata: "Sungguh, Muhammad bukanlah Nabi dan bukan pula Rasul, namun dia hanyalah anak yatim dari Abu Thalib. Dia tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar dan tidak pula mempelajari ilmu pengetahuan dari seorang guru. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi Nabi?". Allah SWT menolak perkataan orang-orang kafir tersebut, kemudian menurunkan surat Yasin, dan bersaksi dengan Dzat-Nya yang Maha agung terhadap kerasulan dan kenabian Muhammad SAW. Allah SWT berfirman, "Wahai Muhammad, jika orang-orang kafir ingkar terhadap kerasulanmu, maka kamu jangan bersedih karena hal itu. Aku sendiri bersaksi bahwa engkau sungguh-sungguh termasuk golongan para rasul".

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Perbanyaklah membaca surat ini (Yasin), karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan".

Pada suatu ketika, terdapat seseorang yang lapar, dan orang tersebut membaca surat Yasin. Allah SWT pun menurunkan anugerah-Nya dengan mengenyangkan orang tersebut. Apabila seseorang sedang mengalami ketakutan, maka Allah akan menghilangkan rasa kekhawatiran akan ketakutannya usai membaca surat Yasin. Selain itu apabila seseorang yang sedang terlilit utang membaca surat Yasin, maka Allah akan menyelamatkan dia dari segala utang-utangnya.

Keutamaan-keutamaan surat Yasin antara lain:

1. Sesungguhnya Allah SWT membaca surat Taha dan surat Yasin sebelum menciptakan Nabi Adam 2000 tahun. Ketika itu, para malaikat mendengarkan Alquran dan para malaikat berkata alangkah bahagianya suatu umat yang diturunkan kepada mereka surat ini.

2. Apabila seseorang datang untuk berziarah kemudian membaca surat Yasin, maka seseorang yang telah meninggal tersebut akan diringankan azabnya. Orang yang membaca surat Yasin akan mendapatkan pahala.

3. Surat Yasin adalah jantung Alquran, apabila seseorang membaca surat Yasin maka Allah akan memberikan pahala kepadanya seperti mengkhatamkan Alquran sepuluh kali.

4. Jika seseorang membaca surat Yasin dengan tujuan mendapatkan pahala dari Allah SWT maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Membaca surat Yasin pada tengah hari, maka semua hajatnya akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, "Lazimkan olehmu membaca surat Yasin, maka di dalamnya ada dua puluh berkat. Jikalau yang membaca orang lapar maka ia akan dikenyangkan. Jikalau yang membaca orang telanjang (orang tak mampu membeli pakaian) maka ia akan dikaruniai pakaian. Bila ia bujang maka ia akan cepat jodohnya. Bila ia takut, ia akan diberi keamanan. Bila ia sakit maka ia akan diberi kesembuhan" (HR Ali bin Abi Thalib)

Friday 24 June 2016

Menjemput Malam Lailatul Qadar

SUBHANALLAH, seorang mukmin yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya pasti sangat merindukan Lailatul Qadar. Karena malam itu teramat istimewa, malam dengan kadar lebih baik dari 1.000 bulan, atau 83 tahun 3 bulan, khoirun min alfi syahrin; malam turunnya para Malaikat dengan dipimpin langsung Malaikat Jibril atas izin-Nya,tanazzalul Malaaikatu warruuhu; malam penuh kedamaian hingga terbit fajar, salaamun hiya hatta mathla’il fajri.

Malam ini sungguh tidak ternafikan sebagai malam yang sangat terasa nikmat. Apalagi jika menikmatinya dengan beriktikaf di masjid. Tercecaplah puncak kedekatan diri dengan Allah, sehingga air mata pun tidak terbendung lagi. Surah Al-Qodar [97] turun karena menunjukkan keistimewaan malam yang terjadinya pada Asyrul Awaakhir, 10 akhir Ramadhan ini.

Adapun untuk mengenali malam indah ini, Rasul SAW bersabda, ”Malam Lailatul Qadar bersih, tidak sejuk, tidak panas, tidak berawan padanya, tidak hujan, tidak ada angin, tidak bersinar bintang dan daripada alamat siangnya terbit matahari dan tiada cahaya padanya (suram).” (HR Muslim).

Berikut ini kiat untuk menjemputnya.

Pertama, benar-benar bersemangat untuk meraihnya diawali dengan meluruskan niat semata ingin ridha Allah SWT. ”Barang siapa melaksanakan ibadah pada malam Lailatul Qadar dengan didasari keimanan dan harapan untuk mendapatkan keridhaan Allah, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.” (HR Bukhari Muslim).

Kedua, bermujahadah dalam ibadah, Sungguh, Rasul tercinta pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lebih bermujahadah melebihi kesungguhan beliau di waktu lainnya. (HR Muslim). Seperti berpuasa dengan tanpa maksiat, membaca Alquran dengan pemahaman dan penghayatan dan menunaikan shalat Tarawih tanpa putus dan dengan tumaninah.

Ketiga, melaksanakan kewajiban Syariat Allah, seperti zakat maal bagi hartawan, jika wanita taatlah dengan berjlibab.

Keempat, beriktikaf di masjid. Abu Said menceritakan tentang iktikaf Rasulullah di masjid yang ketika itu berlantaikan tanah dan tergenang air. “Aku melihat pada kening Rasulullah ada bekas lumpur pada pagi hari Ramadhan.” (HR Muslim).

Kelima, dengan selalu terjaga dalam kekhusyukan ibadah, tidak banyak tidur dan ngobrol. Justru memburai air mata yang mengalir tak terbendung karena rindu perjumpaan dengan-Nya, takut murka-Nya dan karena merasa banyak dosa.

Keenam, berazam dan bersumpah untuk taubatan nashuha; tidak kembali maksiat dan tidak akan menzalimi dan menyakiti siapapun lagi.

Ketujuh, wajib minta maaf kepada siapa pun termasuk kepada keluarga atau sahabat yang pernah ia sakiti. Karena jika tidak, akan menjadi hijab (penghalang) bagi doa dan ibadahnya.

Kedelapan, tiada waktu berlalu sia-sia kecuali banyak berzikir, istighfar, shalawat, wudhu terjaga dan kesenangan bersedekah.

Kesembilan, berdoalah sungguh sungguh, yakin penuh harap.

“Wahai Rasulullah,” tanya Aisyah, “Bagaimana menurutmu andai aku mendapatkan Lailatul Qadar? Doa apa saja yang harus aku baca?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah, Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Maha Mulia, dan Engkau menyukai ampunan. Maka ampunilah aku,” (HR Tirmidzi).

Allahu Akbar, akankah kita yang meraihnya? Kepastiannya hanya milik Allah. Tapi, teruslah meniti jalan ketaatan kepada-Nya. Karena boleh jadi kita adalah di antaranya. Jika setelah malam indah itu berlalu kita adalah yang semakin kuat akidahnya, semakin rajin dan menikmati ibadahnya, akhlak yang semakin mulia.

Dalam halihyaaus sunnah (menghidupkan amal sunnah) kita semakin bersemangat, kepada keluarga dan umat manusia selalu berkasih sayang, ketakwaan kita semakin tampak dan dirasakan oleh diri, keluarga dan sahabat kita, dan air mata kita mudah meleleh karenaliqoouhu, kerinduan berjumpa dengan-Nya. Jika ya, boleh jadi kita adalah yang telah berhasil meraihnya.

Allahumma ya Allah, ampunilah seluruh dosa kami dari mulai akil baligh hingga waktu Engkau wafatkan kami, terimalah amal ibadah kami, tobat kami, berkahi sisa-sisa umur kami dalam aktivitas Syariat dan Sunnah Nabi-Mu, berilah pada kami keistimewaan Lailatul Qodar, dan wafatkan kami semua husnul khootimah. Aamiin.

Saturday 11 June 2016

Ulama Abul Hasan Ali An Nadwi, Ketika Wafatnya, Dua Masjid di Dua Kota Suci Mensholatkannya


Syeikh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi merupakan seorang ulama dan pemikir Islam yang ulung. Beliau dilahirkan pada 6 Muharram 1333H / 23 November 1914M di Takia Kala, Rae Berily, India. Nama asli beliau ialah Ali bin Abdul Hayy bin Fakhruddin bin Abdul Aliy al-Hasani. Nasabnya sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Talib r.a. Beliau amat beruntung karena dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang amat berpegang teguh dengan ajaran Islam. Ayahnya Sayyid Abdul Hayy adalah seorang ulama di India dan ibunya juga seorang pendidik dan penghapal  al Quran serta syair-syair sejarah Islam dalam bahasa Urdu.

Dilahirkan dalam keluarga yang mementingkan ilmu, tidak heranlah minat membaca beliau terbentuk  sejak kecil . Beliau gemar mengkoleksi  kitab dan mempunyai perpustakaan  sendiri yang dinamakan sebagai Maktabah Abil Hasan Ali (Perpustakaan Abul Hasan Ali).

Sejak kecil juga Syeikh Abul Hasan telah didik dengan berbagai  ilmu pengetahuan meliputi bahasa Arab, nahu, syair, sastera Arab, tafsir, fiqh, hadis dan sebagainya. Banyak  kalangan gurunya datang dari India dan ada juga di antara mereka yang datang dari Madinah. Pada awalnya, beliau hanya belajar di rumah dan di madrasah Nadwatul Ulama. Setelah itu beliau melangkah keperingkat yang lebih tinggi di Universiti Lucknow dan di kampus ini  beliau berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam bidang Bahasa Arab. Kemudian beliau meneruskan lagi pengembaraan ilmunya hingga membawa beliau ke Lahore. Di sinilah dia bertemu dengan seorang sarjana dan pemikir  dunia Islam yaitu Dr. Muhammad Iqbal. Kekaguman beliau dengan karya-karya Iqbal mendorong beliau untuk menterjemahkan beberapa syair Iqbal dari Bahasa Urdu kepada Bahasa Arab, walaupun usianya pada ketika itu hanya sekitar 15 tahun saja.

Sifat Pribadi

Pribadi Syeikh Abul Hasan sangat sederhana, zuhud, berlapang dada serta terpancar keikhlasan dakwahnya sehingga membuatkan beliau disukai dalam pergaulan.

Beliau adalah seorang yang berpribadi zuhud dan tidak membedakan antara manusia dalam dakwahnya,  membuatkan ulama terkenal Mesir, Dr Yusuf al-Qaradhawi pun mengkagumi kepribadian beliau.

Dr Yusuf al-Qaradhawi berkata: “Saya mengenali kepribadiannya dan juga karya-karyanya. Saya mendapati pada dirinya hati seorang muslim yang sejati dan pemikiran Islam yang asli. Saya mendapati beliau sentiasa hidup dengan Islam dan untuk Islam. Saya kira bukan saya saja yang mencintainya tetapi semua orang yang mengenalinya pasti mencintainya, bahkan siapa saja yang lebih mengenalinya pasti akan bertambah kecintaan terhadapnya.”

Dakwah dan Pendiriannya

Mencontohi pendekatan dakwah ulama’-ulama’ terdahulu seperti Imam As Sirhindi r.a dan Maulana Ilyas r.a, serta beberapa tokoh Islam , Syeikh Abul Hasan telah membawa suatu manhaj dakwah dan tarbiyah yang menyeluruh, dengan menggabung  beberapa manhaj dan pendekatan, menjadi suatu kombinasi di antara gerakan Islam lama yang berkah dengan sistem aplikasi yang bermanfaat. Menurut beliau, kefahaman terhadap dasar-dasar dakwah akan menjadikan seorang dai  benar-benar berdakwah untuk Allah bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya atau lainnya. Prinsip yang perlu ada ialah berdakwah untuk kebaikan umat seluruhnya bukan untuk keuntungan kelompok atau diri sendiri. Dasar-dasar yang digariskan beliau dalam melaksanakan dakwah itu merupakan himpunan prinsip  dasar “At Tasallub Fi Al Usul” iaitu tegas pada prinsip dan “Al Murunah Fi Al Wasail” yakni aplikasi  dalam pelaksanaan.

Usaha gigih Syeikh Abul Hasan dalam menyampaikan kalimat haq bukan sahaja dikagumi oleh dunia Islam malah mendapat penghormatan  dari masyarakat Barat khususnya di Eropa. Banyak undangan ceramah dan seminar yang beliau terima dari institusi-institusi terkemuka di Eropa seperti di Geneva, Paris, Cambridge, Oxford, Glasgow, Edinburgh dan Spanyol. Rata-rata dikalangan pendakwah dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik di Timur maupun di Barat mengenali tokoh ini. Malah adakalanya walaupun tidak berkesempatan mengenali pribadi beliau secara langsung tetapi apabila kita membaca hasil-hasil karyanya kita akan merasakan seolah-olah beliau adalah guru kita yang duduk bersama-sama kita.

An-Nadwi juga begitu peka dengan sistem pendidikan dan banyak mengkritik golongan orientalis yang menyelewengkan fakta mengenai Islam. Dari segi faktor keagamaan, tujuan orientalis adalah menyebarkan agama Kristian dan mencoba memaparkan  keunggulannya dibanding  agama Islam. Di samping itu, mereka coba membangkitkan rasa bangga terhadap kepercayaan mereka ke dalam jiwa anak-anak muda Islam. Dari segi politik, golongan orientalis adalah utusan barat ke negara-negara Islam dengan tujuan membuat penyelidikan yang berhubung dengan adat, bahasa, tabiat dan jiwa orang-orang timur. Melalui cara ini, barat dapat meluaskan kekuasaan dan pengaruhnya ke atas umat Islam. Walaupun begitu, ada juga golongan orientalis yang membuat penyelidikan semata-mata kerana rasa minat mereka terhadap ilmu.

Tujuan orientalis  hanya ingin mencari kelemahan tentang Islam dan mengemukakannya untuk maksud politik maupun keagamaan.

Menurut an-Nadwi, umat Islam sekarang menghadapi kejumudan pemikiran atau mengendapnya kecerdasan akal yang menimpa sarjana Islam atau pusat-pusat pengkajian Islam. Begitu juga, jarang ditemui ulama yang dapat meyakinkan generasi muda mengenai keunggulan Islam dan keabadian ajaran agama dalam menjalani  kehidupan serta menyingkap takbir kelemahan-kelemahan peradaban barat..

Beliau turut menggariskan beberapa faktor yang menyebabkan kefahaman ini dapat menawan jiwa orang-orang Islam. Antaranya ialah  kelemahan orang Islam dari sudut keimanan, ijtihad dan ilmu pengetahuan. Fikiran menjadi sempit dan keghairahan terhadap agama mereka telah lenyap sama sekali. Dan  para ulama tidak memainkan peranan yang sebenarnya dan tidak pula berusaha untuk memimpin orang Islam lain terutama anak-anak muda Islam. Serta penjajahan yang berlaku ke atas negara-negara umat Islam. Bahkan sebagian orang-orang Islam mengkagumi falsafah barat yang dianggap mengandungi kebenaran dan kemajuan.

An-Nadwi berpendapat bahawa jalan yang paling selamat dalam mendidik umat Islam ialah kembali beriman kepada Alllah sebagaimana Rasulullah dahulu telah melaksanakannya . Kemungkaran dan kerusakan adalah berawal  dari keengganan manusia untuk kembali kepada  nubuwwah. Hanya dengan kembali kepada bentuk didikan awal saja,  manusia masa kini dapat diselamatkan sebagaimana manusia pada zaman dahulu diselamatkan oleh Rasulullah. Oleh itu, beliau menyarankan umat Islam kembali kepada madrasah kerasulan.

An-Nadwi menggunakan manhaj dakwah dengan berdasarkan  kepada al-Quran kemudian hadith dan sirah serta kisah-kisah para sahabat. Ini jelas terbukti dalam bukunya Rawa’i min adab al-da’wah yang mana beliau mengambil contoh-contoh dakwah para nabi-nabi yang bersumberan al-Quran dan al-Hadith.Di samping itu, beliau mengakui manhaj itu mungkin berbeda dari satu tempat dari satu tempat yang lain karena dakwah harus juga melihat kondisi lingkungan. Oleh karena itu, dakwah yang berkesan ialah dakwah yang menyentuh  realita yang ada. Al-Nadwi juga menyarankan memahami al-Quran dengan mendalam, sejarah dakwah dan tokoh-tokoh dakwah serta adab-adab Islam.

Sebuah Karya Yang Membuka Mata Dunia

Siapa yang tidak terkesan bila mana membaca karya agung beliau yang berjudul “Apakah Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam” yang pernah pada suatu ketika menggoncang hati para pemimpin dan ulama’ di dunia Arab. Hingga sekarang karya yang berusia lebih 50 tahun itu, tetap menjadi rujukan umat seluruh dunia malah telah diterbitkan dalam berbagai-bagai bahasa seperti Inggeris, Parsi, Urdu, Arab, Hindi, bahasa Indonesia dan lain-lain. Beliau telah berhasil membuka pandangan sempit pemimpin dunia Islam yang menganggap bahwa kekayaan material yang dimiliki oleh masyarakat Eropa adalah segala-galanya sedangkan mereka di sana telah bankrut dari segi pemikiran dan kerohanian. Dengan pandangannya yang tajam, Syeikh Abul Hasan an-Nadwi berhasil membawa suatu pemikiran yang berguna untuk mengeluarkan umat manusia daripada kungkungan hidup jahiliyah modern kepada naungan Islam . Sebagaimana yang beliau nukilkan bahwa hanya umat Islam saja yang layak untuk  mengatur dunia ini, tanpa Islam dunia akan menghadapi penderitaan dan kerugian walaupun manusia memiliki segala kecanggihan dan kemudahan hidup.

Dijemput Ilahi

Setelah hampir seluruh usianya dihabiskan dengan perjalanan ilmu dan dakwah, menyeru umat Islam agar kembali teguh kepada al-Quran dan sunnah, maka pada tengah hari Jum’at, 23 Ramadhan 1420H / 31 Disember 1999M, beliau telah dijemput Allah SWT pulang ke sisiNya ketika sedang bersiap-siap untuk menghadiri solat Jum’at di kediamannya, ketika usianya mencapai 85 tahun. Mengenang jasa beliau yang telah dicurahkan untuk kepentingan agama, maka telah diadakan solat jenazah ghaib di dua tanah suci yaitu di Masjidil Haram di Makkah al Mukarramah dan di Masjid Nabawi di Madinah al Munawwarah pada malam 27 Ramadhan 1420H.

Kepergiannya dirasakan sebagai suatu kehilangan permata yang amat berharga. Perjuangan dakwahnya yang tidak mengenal noda itu, seharusnya menjadi contoh oleh generasi kini. Beliau pernah berpesan kepada generasi muda bahawa para pemuda  Islam yang bakal memimpin umat pada masa akan datang sangat perlu diisi dengan ilmu, tazkiyah ruhiyah, semangat juang dan sifat zuhud dari dunia. Kalau tidak, akan diombang ambing dan akan dipecundangi dalam menghadapi ujian  akhir zaman. Kepiawaian  lidah dalam berucap dan keluasan ilmu belum dapat memberi kesan yang terbaik kalau tidak disertai dengan kekuatan rohani yang mantap.

Selamat jalan wahai mujahid. Semoga Allah SWT mencucuri rahmat yang luas ke atasmu dan semoga engkau bersama-sama dengan para anbiya’, auliya’ dan para kekasih Allah. Amin.

Saturday 30 April 2016

Shalat

Shalat sangat penting bagi setiap Muslim. Shalat merupakan tiang agama. Dengan shalat, menjadi pembeda antara kita dengan non Muslim.

TERKADANG terlintas dalam benak kita, kenapa kita harus shalat? Apa yang akan kita dapatkan dari shalat? Padahal, shalat hanya gerakan-gerakan sederhana, yang kita lakukan pada waktu-waktu bersantai. Sehingga waktu istirahat kita terganggu akibat diisi dengan shalat?

Jika hal itu masih ada dalam benak pikiran Anda, maka segera hapuslah. Sebab, shalat bukan hanya perintah dari Allah SWT semata. Shalat memiliki keistimewaan tersendiri bagi kita sebagai seorang Muslim. Dan shalat memiliki urgensi tersendiri bagi kita. Apakah itu?

Shalat itu tiang agama. Siapa yang menunaikan shalat, berarti ia menegakkan agama. Dan siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia meruntuhkan agama.

Bila kita memperhatikan sebuah bangunan, tiang berfungsi sebagai penyangga. Apa jadinya bila bangunan berdiri tanpa penyangga? Pasti ambruk, kan? Apa artinya pula bangunan dengan tiang penyangga yang rapuh? Lama-lama ambruk juga, kan?

Dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah ï·º bersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat,” (HR. At-Tirmidzi).

Shalat juga pembeda keimanan dengan kekufuran. At-Tirmidzi kembali meriwayatkan dari Buraidah, bahwa Rasulullah ï·º bersabda, “Ikatan janji antara kami (umat Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Maka barangsiapa meninggalkan shalat, berarti ia kafir.”

Adapun Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya, bahwa Rasulullah ï·º bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”

Selain itu, shalat merupakan amalan pokok yang akan dihisab pertama kali. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah ï·º bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan yang pertama kali dihisab pada seseorang nanti di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya bagus, maka berbahagia dan beruntunglah dia. Namun, jika shalatnya rusak, maka menyesal dan merugilah ia…”

Sebuah perintah ketaatan dari Allah SWT akan menjadi beban bagi yang kurang berilmu. Semakin bertambah ilmunya, beban itu berubah menjadi kewajiban. Kita mengerjakan shalat, layaknya bekerja kepada majikan. Kita khawatir tidak mendapatkan upah dan mendapatkan sanksi bila tidak mengerjakannya. Kita mengerjakannya karena berharap untuk memasuki surga dan takut masuk ke dalam neraka.

Semakin lama, kewajiban itu berubah menjadi kebutuhan. Kita mengerjakan shalat, karena kita membutuhkannya. Kalau belum mengerjakan, serasa ada yang kurang. Dengan shalat, hati menjadi tenang, jiwa menjadi riang dan segenap permasalahan menemukan jalan keluar. Kita pun merasakan bahwa kitalah yang membutuhkan shalat. Andai tiada shalat, tiada kesempatan berkomunikasi dengan Allah SWT, betapa berat menghadapi aneka problematika hidup.

Lebih nikmat lagi, bila mengerjakannya karena rasa syukur dan cinta kepada Allah SWT. Dan kita merindukan saat istimewa itu. Berkomunikasi dengan Allah, sebagaimana bercengkerama dengan kekasih kita. Rasulullah ï·º sangat mendalam cintanya kepada Allah. Hingga pernah dalam menunaikan shalat, kakinya menjadi bengkak. Mengapa demikian? Karena beliau berlama-lama dan menemukan kenikmatan luar biasa dalam shalatnya.

Shalat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Selain pembeda antara keimanan dan kekafiran, ia merupakan amalan yang pertama kali dihisab, juga dapat menjadi sarana untuk mengahadapi segala problematika hidup. Hudzaifah berkata, “Kebiasaan nabi ï·º jika menghadapi kesulitan adalah segera melakukan shalat,” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

10 Seruan Bumi Kepada Manusia

WAHAI manusia, engkau berlari-lari di atas belakangku, tempat kembalimu adalah di dalam perutku.

Engkau melakukan maksiat di atas belakangku, engkau akan disiksa di dalam perutku.

Engkau ketawa diatas belakangku, engkau akan menangis di dalam perutku.

Engkau bergembira di atas belakangku, engkau akan bersedih di dalam perutku.

Engkau mengumpulkan harta di atas belakangku, engkau akan menyesal di dalam perutku

Engkau memakan yang haram di atas belakangku, engkau akan di makan ulat-ulat di dalam perutku.

Engkau sombong di atas belakangku, engkau akan menjadi hina di dalam perutku.

Engkau berjalan dalam keadaan sukacita di atas belakangku, engkau akan jatuh di dalam perutku dalam keadaan dukacita.

Engkau berjalan dalam cahaya yang terang diatas belakangku, engakau akan jatuh ke tempat yang gelap di dalam perutku.

Engkau berjalan di khalayak ramai diatas belakangku, engkau akan menjadi sendirian di dalam perutku. (Anas bin Malik)

Wednesday 27 April 2016

Ini Yang Menyebabkan Hati Tidak Tenang

DARI Nawwas bin Sam’an, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa menganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa sesuatu yang mengganggu jiwa, membuatnya gelisah dan tidak tenang adalah sebuah dosa. Karena itu, hati manusia bisa dijadikan parameter bila ia hendak melakukan seuatu. Ini sesuai dengan hadits hasan berikut ini,
Dari Wabishah bin Ma’bad dia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?’ Saya menjawab, “Ya.” Beliau bersabada, ‘Mintalah pendapat dari hatimu. Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR. Ahmad)

Bila jiwanya merasa tenang hendaklah ia melakukannya, bila sebaliknya maka hendaklah ia meninggalkannya. Hal ini karena jika seseorang berbuat dosa, dirinyalah yang lebih dahulu mengetahuinya daripada orang lain.

Tabiat perbuatan dosa memang menyebabkan hati gundah, depresi, dan gelisah. Contoh kecilnya adalah seorang pencuri. Ia memang telah berhasil mencuri barang curiannya, tapi hati kecilnya akan selalu dirasuki perasaan khawatir dan cemas. Khawatir jika sewaktu-waktu akan ketahuan, dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Maka dari itu, mari kita bersama-sama meninggalkan segala sesuatu yang mampu membuat hati gelisah dan gundah gulana. Karena pada hakikatnya, dosa-dosa kitalah yang selama ini menggunung dan membuat hati tidak tenang. Wallahu ‘alam.[]

Foto: citizendaily.net

Referensi: 40 Pesan Nabi untul Setiap Muslim/Karya: Fahrur Mu’is dan Muhammad Suhadi/Penerbit: Taqiya Publishing

Sunday 24 April 2016

Hak Seorang Ibu Terhadap Anak Laki-Lakinya

MEMBANGUN keluarga sakinah merupakan dambaan kita semua. Dasarnya adalah masing-masing anggota keluarga tersebut harus bertaqwa. Salah satu manifestasi taqwa ialah berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain). Perlu disadari, bahwa pernikahan itu bukan hanya ikatan 2 orang anak manusia, tetapi mengikat 2 keluarga besar.

Jadi pernikahan itu merupakan risalah agung membentuk ukhuwah yang luas yang dasarnya saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan saling menolong (tafakul) antara suami-istri, keluarga suami dan keluarga istri. Bila masing-masing pihak ridha, maka nilai pernikahan yang sakinah serta diridhai orang tua akan terwujud.

Sebelum menikah, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibundanya. Bila seorang anak laki-laki yang telah menikah, maka kewajiban berbakti kepada ibu ini tidak hilang, jadi suami adalah hak ibunda.

Bagaimana dengan anak perempuan yang telah menikah? Nah, bagi anak perempuan yang telah menikah, maka haknya suami. Jadi istri berkewajiban berbakti pada suami. Karena setelah Ijab kabul, berpindahlah hak dan kewajiban seorang ayah kepada suami dari anak wanitanya. Begitu besar kewajiban berbakti pada suami, sampai rasul pernah bersabda, “Bila boleh sesama manusia mengabdi (menyembah), maka aku akan menyuruh seorang istri mengabdi pada suaminya.”

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)

Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah r.a., bertanya: “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah saw: “Ibumu.” Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini.

Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir (kebajikan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:

“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa dipahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.

Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun –selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun–, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)

Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.

Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat.”

Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:

“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”

Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:

“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”

Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.

Ingatlah! Harta Itu Milik ALLAH SWT, Hanya Di Titipkan Saja Kepada Kita

YAKINLAH bahwa harta itu sebenarnya milik Allah sedangkan manusia hanya memegang amanah atau pinjaman dari-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur’an Al Karim:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu,” (QS Al Hadid: 7)

Allahlah pemilik harta benda, karena Dia yang menciptakannya dan yang menciptakan sumber produksinya serta memudahkan sarana untuk mendapatkannya, bahkan Dia-lah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.

“Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..,” (QS An-Najm: 31)

“Ingatlah sesungguhnya hanya milik-Nya makhluq yang ada di langit dan makhluk yang ada di bumi.,” (QS Yunus: 66)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya,” (QS AI Waqi’ah: 63-64)

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…,”(QS. An-Nuur: 33)

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka..,” (QS Ali ‘Imran: 180)

Jadi apa yang diberikan Allah kepada manusia dari karunia-Nya salah satunya adalah harta, sehingga kekuasaan manusia atas harta itu sekedar sebagai wakil, bukan pemilik aslinya.

Jika manusia adalah sebagai amin (yang dipercaya) untuk memegang harta dan sebagai wakil, maka tidak boleh bagi manusia untuk menyandarkan harta itu pada dirinya dan mengatasnamakan keutamaan itu sebagai atas jerih payahnya, sehingga ia mengatakan seperti yang dikatakan oleh orang kafir, “Ini adalah milikku” (Fushshilat: 41). Atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Qarun, “Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanya karena ilmu yang ada padaku” (Al Qashash: 78).

Demikian juga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk menyibukkan dirinya dengan harta itu, tanpa melibatkan keluarga dari pemilik aslinya, karena seluruh makhluq adalah keluarga Allah. Hal ini berarti ia telah melupakan kedudukan dan fungsi harta itu.

Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan di dalam tafsirnya, “Sesungguhnya orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah dan orang-orang kaya itu khuzzanullah (yang menyimpan harta Allah), karena harta yang ada di tangan mereka adalah harta Allah. Seandainya Allah SWT tidak memberikan harta itu di tangan mereka, niscaya mereka tidak memilikinya sedikit pun. Maka bukan sesuatu yang aneh jika ada seorang raja berkata kepada bendaharanya, “Berikan sebagian dari harta yang ada di gudang kepada orang-orang yang membutuhkan dari hamba-hamba sahayaku.”

Wajib bagi manusia (yang mengemban amanat harta) terikat dengan instruksi pemiliknya dan melaksanakan keputusannya serta tunduk terhadap arahan-arahan-Nya dalam memelihara dan mengembangkannya, dalam menginfakkan dan mendistribusikannya. Bukan berkata seperti yang dikatakan oleh penduduk Madyan kepada Nabi Syu’aib AS:

“Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. ,” (QS Huud: 87)

Hal itu merupakan bantahan mereka ketika Syu’aib menasehati mereka,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat), hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan rnanusia terhadap hak-hak mereka janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan,” (QS Huud: 84-85)

Mereka mengira bahwa pemilikan harta itu memperbolehkan bagi mereka untuk bebas berbuat semaunya, walaupun hal itu bertentangan dengan norma-norma (akhlaq) atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan alasan bahwa, “Ini harta kami, maka kami menggunakannya terserah kemauan kami.”

Islam telah menegaskan bahwa harta adalah milik Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya. Allah mengamanahkan kepada mereka harta itu untuk melihat bagaimana mereka berbuat, maka apabila mereka tidak beriltizam dengan perintah-perintah Allah berarti mereka telah melanggar batas-batas perwakilan, sehingga harta itu harus diambil secara paksa atau tangan mereka dipukulkan ke batu.

Dengan kaidah emas ini, maka Islam maju dalam beberapa kurun (abad) dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial Islam telah jauh mendahului apa yang digembar-gemborkan oleh sebagian ilmuwan ilmu sosial Barat bahwa sesungguhnya pemilikan itu tugas sosial, dan sesungguhnya orang yang kaya itu harus mengikuti sistem sosial yang ada. Meskipun kata-kata ini sama sekali tidak sebanding dengan ajaran yang ada dalam Al Qur’an. []

Referensi: Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an dan Sunnah/DR. Yusuf Al-Qardhawi/ 1997/ Citra Islami Press

Saturday 23 April 2016

Dahsyatnya Kengerian di Alam Kubur

HANI’ budak Utsman ibn Affan, meriwayatkan hadis: Ketika Utsman RA berhenti sebuah kuburan, beliau menangis tersedu-sedu sampai basah janggutnya. Lalu beliau ditanya, “Engkau mengingat surga dan neraka tapi tidak menangis. Namun, saat mengingat kubur, engkau menangis. Mengapa?” Jawab beliau, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Kubur adalah rumah akhirat pertama. Bila selamat di kubur, maka yang setelahnya jadi lebih mudah; bila tidak selamat di kubur, maka yang setelahnya lebih sulit.’ Aku juga mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku tidak melihat suatu pemandangan pun yang lebih menakutkan daripada kubur’.”

Karena fase setelah kubur lebih mudah bagi yang telah selamat, maka seorang mukmin dalam kuburnya, ketika melihat surga yang disiapkan Allah, berkata, “Ya Tuhan, segerakanlah terjadinya kiamat agar aku tidak kembali ke keluarga dan hartaku!” Sedangkan seorang kafir lagi jahat, ketika melihat azab pedih yang dipersiapkan Allah baginya, berseru, “Ya Tuhan, jangan kau datangkan kiamat!” karena yang akan datang lebih pedih siksanya dan lebih menakutkan.

Kegelapan Alam Kubur

Seorang wanita yang biasa menyapu mesjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW wafat. Beliau SAW merasa kehilangan. Para sahabat menyampaikan bahwa wanita itu wafat tadi malam dan telah dikubur malam itu juga. Mereka tidak sampai hati mengingatkan beliau. Nabi SAW lalu meminta beberapa sahabat untuk menunjukkan kuburannya. Setelah sampai di kubura wanita itu, beliau menyalati perempuan itu kemudian bersabda, “Kuburan ini sungguh sangat gelap bagi para penghuninya. Allah azza wa jalla menyinarinya bagi mereka dengan salatku tadi,” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, Baihaqi dan Ahmad). [Sumber: Ensiklopedia Kiamat/ Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi]

Dari Pohon, Belajar Jadi Orang Yang Bermanfaat

Setelah tumbuh besar, pohon tidak melupakan jasa pengurusnya. Ia bermanfaat bagi pemiliknya. Bahkan, ia juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti itulah kita harus bisa memposisikan diri. Untuk jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi kedua orang tua.

SEBAGAI makhluk sosial, tentu kita tidak akan bisa lepas dari orang lain. Sebab, tak semua kebutuhan dapat kita selesaikan seorang diri. Ada hal-hal di luar kendali kita. Kita memiliki keterbatasan dan kekurangan. Dan kekurangan itu, dapat dilengkapi oleh orang lain.

Maka dari itu, kita tidak bisa menyombongkan diri, bahwa seolah-olah kita tidak butuh pada orang lain. Padahal, tidak demikian adanya bukan? Sekecil apapun kita tetap butuh orang lain. Begitu pun orang lain, tentu membutuhkan bantuan kita, di saat mereka mengalami kesulitan. Di mana kesulitan itu dapat kita tutupi dengan kelebihan yang kita miliki.

Kita harus bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dan kita bisa belajar mengenai hal ini dari pohon. Mengapa demikian?

Pohon bermula dari satu biji kecil. Ia tumbuh dengan dirawat dan dijaga oleh manusia. Ia tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. Melainkan membutuhkan orang lain, agar ia tetap bisa bertahan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Ketika pohon sudah tumbuh menjadi besar, ia tidak melupakan jasa manusia yang telah merawatnya. Ia memberikan manfaat yang baik bagi manusia. Bukan hanya manusia yang merawatnya, manusia lainnya pun ikut merasakan manfaat darinya. Jadi, ia tumbuh kembang demi memberikan manfaat bagi orang banyak.

Kita pun harus bisa berlaku demikian. Mengapa? Kita berasal dari hal yang tidak berdaya. Kemudian, kedua orang tua kita yang menjaga dan merawat kita hingga tumbuh kembang dengan baik. Lalu kini, kita sudah tumbuh dewasa. Apa yang telah kita berikan untuk kedua orang tua kita? Apakah sudah bermanfaat adanya kita bagi mereka? Apakah orang lain pun merasakan manfaat dari adanya kita?

Di sinilah tugas terbesar kita. Kita harus mampu menjadi orang yang bermanfaat. Jangan biarkan adanya kita tidak memiliki dampak apapun pada orang lain, termasuk kedua orang tua kita.

Jangan biarkan hidup kita dipenuhi dengan kehampaan. Di mana kita tak memiliki arti apapun di mata orang lain, terutama kedua orang tua kita. Berusahalah untuk menjadi orang yang bermanfaat. Tunjukan kelebihan kita untuk membantu orang lain yang tidak memiliki kelebihan yang sama dengan apa yang kita miliki.

Thursday 21 April 2016

4 Malaikat Yang Mendatangi Orang Sakit

SEORANG artis di sebuah perhelatan kontes nyanyi mengatakan bahwa “sakit itu tidak profesional.” Well, berlepas dari bahwa kita dilingkupi berbagai pekerjaan dan kegiatan lainnya, sakit adalah sunatullah, ketentuan dari Allah swt yang ditimpakan pada manusia.

Memang betul, tidak ada yang menginginkan jadi sakit.  Tapi dalam Islam, seperti kita tahu, ada banyak hal yang tersembunyi di balik kondisi itu.

Kalau kita tahu sebenarnya tak ada alasan untuk sedih dan mengeluh saat kita sakit, karena sebenarnya itu adalah kasih sayang Allah swt pada kita. Kita mengeluh saat sakit karena kita tak tahu rahasianya. Sakit, dalam bentuknya yang lain, itu harus disyukuri karena itu adalah bukti kasih sayang Allah pada kita. Allah mengutus 4 malaikat untuk selalu menjaga kita dalam sakit.

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan yang terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat waktu senangnya.”

Ujaran Rasulullah SAW tsb diriwayatkan oleh Abu Imamah al Bahili. Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda :

“Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”

Allah memerintahkan :

1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.

2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya

3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.

4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya, maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat ke 4 , Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”

Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”

“Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau pe­nyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan di­jadikan penebus dosanya oleh Allah,” (HR Bukhari-Muslim).

“Jika sakit seorang hamba hingga tiga hari, maka keluar dari dosa-dosanya sebagaimana keadaannya ketika baru lahir dari kandungan ibunya,” (HR Ath-Thabarani).

“Penyakit panas itu menjaga tiap mu’min dari neraka, dan panas semalam cukup dapat menebus dosa setahun,” (HR Al-Qadha’i).